"Catatan penting saya, isu pangan adalah isu global. Dia telah menjadi komoditas penting dalam geopolitik dan geoekonomi, yang memengaruhi kehidupan global," ujar Singgih, Selasa, 23 Maret 2021.
Singgih mengakui, di dalam negeri, impor pangan menjadi isu sensitif dan tidak populis. Singgih menolak anggapan impor beras ini tidak peka petani.
"Masyarakat harus memahami, impor tersebut masih berupa nota kesepahaman atau MoU. Hal ini untuk memastikan pemerintah mendapat kuota jatah beras yang jadi isu sensitif dunia," ujarnya.
Menurutnya ledakan penduduk dunia dan alih fungsi lahan pangan serta biofuel, membuat komoditas pangan jadi rebutan berbagai negara. Beras menjadi salah satu komoditas yang populer di Asia, sementara Tiongkok menjadi penyerap terbesar.
"Bila Indonesia tak segera melakukan perjanjian impor beras, bisa tak mendapatkan kuota jatah beras dari negara eksportir seperti Thailand dan Vietnam. Ini membahayakan stok beras nasional," imbuhnya.
Sementara dari sisi kebijakan di dalam negeri, impor beras diperbolehkan dalam UU Pangan dan UU Cipta Kerja guna memenuhi cadangan atau stok pangan masional agar tidak terjadi defisit ketika kebutuhan beras nasional sangat tinggi.
Dengan penduduk Indonesia mencapai 270 juta lebih, pemerintah harus melaksanakan amanat konstitusi bahwa pangan harus disediakan oleh negara dan pangan adalah hak asasi manusia.
Langkah pemerintah ini penting, pasalnya Bulog menyebut data stok pangan pada April masih dalam bentuk harapan panen, "Dan ini masih belum bisa dipastikan apakah dapat terpenuhi atau tidak," jelas Singgih.
Berdasarkan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) proyeksi stok CBP pada 2021 per 1 Maret 927.862 ton, stok tertinggi diperkirakan Juli 1.435.246 ton dan 31 Desember 2021 diperkirakan stok akhir 1.018.033 ton.
"Artinya ada semacam rencana untuk menjaga ketahanan pangan dengan menjaga ketersediaan pangan secara tepat jumlah, kualitas, waktu dan harga. Tentu hal ini harus diutamakan produksi dari dalam negeri, dan hanya impor dilakukan manakala cadangan pangan tergerus," paparnya.
Singgih menduga, bencana alam dan covid-19 mengurangi stok pangan nasional. Cuaca ekstrim juga sedang dihadapi di berbagai daerah, faktor-faktor yang bisa mengurangi produksi pertanian dalam negeri," tambahnya.
Terkait sikap Bulog yang menolak rencana impor beras, Singgih meminta penjaga stabilitas pangan itu berbenah. Bulog harus mempertimbangkan segala aspek ketersediaan, kebutuhan dan kecukupan stok pada semua wilayah.
"Tak lebih dari 10 wilayah provinsi yang mengalami surplus, selebihnya 24 wilayah malah kurang. Itu pentingnya akurasi data antara Kementerian terkait dengan Bulog," jelasnya.
Menurutnya, Bulog juga harus memperbaiki manajemen penyimpanan dan pengeluaran beras. "Bulog harus memperhatikan first in first out untuk mengurangi kerusakan pada stok berasnya. Bila ini tak diperbaiki, justru mengacaukan ketahanan pangan," ujar Singgih.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) M Lutfi memastikan keran impor beras tidak akan dibuka jika hasil panen raya mampu memenuhi cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola oleh Bulog. Masa panen raya akan berlangsung mulai Maret hingga April 2021.
"Saya jamin, tidak ada impor ketika panen raya dan hari tidak ada beras impor yang menghancurkan harga petani karena memang belum ada yang impor," kata Lutfi dalam konferensi pers virtual, Jumat, 19 Maret 2021.
Lutfi menjelaskan wacana impor beras merujuk pada data stok beras yang ada di gudang Bulog. Sesuai aturan beras cadangan atau iron stock, Bulog harus menyimpan sekitar satu juta sampai 1,5 juta ton beras per tahun.
Sementara berdasarkan data terakhir, sisa stok beras di gudang Bulog hanya 800 ribu ton. Itu pun sudah termasuk 300 ribu ton beras impor pada 2018 yang sudah mengalami penurunan mutu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News