Ilustrasi. FOTO: Medcom.id
Ilustrasi. FOTO: Medcom.id

Tak Mendesak, PP 109/2012 Masih Relevan untuk Pengendalian Konsumsi Tembakau di Indonesia

Eko Nordiansyah • 10 September 2021 19:53
Jakarta: Rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan saat ini dinilai tidak mendesak. Apalagi PP 109/2012 ini dinilai masih relevan untuk pengendalian konsumsi tembakau.
 
Pakar Hukum Internasional sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Hikmahanto Juwana mengatakan, pembahasan peraturan yang menggunakan izin prakarsa sebaiknya hanya terkait hal-hal yang sifatnya sangat mendesak seperti berbagai kebijakan penanganan krisis akibat pandemi covid-19.
 
"Terlebih dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2017 dan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2021, revisi PP 109 Tahun 2021 tidak memenuhi sejumlah hal seperti pembulatan suara antar K/L dan aspek harmonisasi," kata dia, dalam webinar, Jumat, 10 September 2021.

Ia menyebut, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan satu aspek saja. Dalam rencana revisi PP 109/2012, pemerintah semestinya mempertimbangkan aspek lain seperti perburuhan, tenaga kerja, petani tembakau, hingga penerimaan negara di luar aspek kesehatan.  
 
Hikmahanto menegaskan, isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk jadi bahan pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Namun demikian, kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan karena PP 109/2012 tidak hanya bicara soal satu dimensi kepentingan namun titik temu berbagai kepentingan.
 
Untuk itu Kementerian/Lembaga terkait harus diikutsertakan agar pembahasan mengenai peraturan perundangan lebih komprehensif. Selain itu, naskah akademis sebagai dasar revisi harus dibuka ke publik untuk mendapatkan masukan dibandingkan terus menimbulkan polemik di tengah situasi pandemi.
 
"Kementerian Kesehatan harus kita dukung untuk fokus menyelesaikan pandemi dan memperkuat berbagai kebijakannya. Untuk itu sebagai bangsa yang berdaulat penting untuk kita mampu mengambil sikap dan tidak tunduk kepada desakan lembaga asing yang memiliki kepentingan atas revisi PP 109/2012 ini," ungkapnya.
 
Industri Hasil Tembakau (IHT) sendiri melibatkan lebih dari enam juta pekerja dan mata rantainya mulai hulu ke hilir. Revisi PP 109/2012 dinilai akan memiliki implikasi banyak terhadap berbagai peraturan lain baik yang setara atau turunannya. Dengan begitu, tidak boleh ada tekanan dari pihak asing.
 
Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah juga menyampaikan perspektif kebijakan publik yang baik, penyusunan atau revisi sebuah peraturan pemerintah perlu disusun secara kolaboratif dan partisipatif dari masyarakat. Ia menilai proses revisi PP 109/2012 tidak memenuhi aspek tersebut.
 
"Apa urgensinya melakukan revisi PP 109/2012? Saya juga tidak setuju revisi ini, secara asas penyusunan regulasi ini melanggar aspek transparansi, karena prosesnya sangat tertutup dan tidak melibatkan banyak stakeholders yang terdampak langsung terhadap revisi ini," ujar dia.
 
Tanpa adanya konsultasi dan partisipasi publik, regulasi yang diciptakan dinilai tidak akan efektif, karena akan memicu penolakan saat implementasinya. Pemerintah juga perlu menghentikan pola menerbitkan regulasi dengan cara testing the water, yaitu menerbitkan regulasi dan kemudian membatalkannya saat diprotes.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABD)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan