Jakarta: Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J. Supit mengakui pengusaha di sejumlah sektor masih kesulitan untuk bisa membayar Tunjangan Hari Raya (THR) secara penuh bagi para karyawannya.
Ia pun pasrah jika nanti perusahaan dikenakan denda dan sanksi administratif sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.
"Terserah pemerintah, kan katanya ada sanksi. Silakan saja pemerintah yang urus karena ini sudah di luar kemampuan kami," kata Anton dikutip dari Antara, Sabtu, 8 Mei 2021.
Menurut Anton, berdasarkan keputusan pemerintah melalui Surat Edaran Menaker RI Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan tahun 2021 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, pembayaran THR harus sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Menaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Bagi perusahaan yang terdampak pandemi dan tidak mampu memberikan THR 2021 sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dalam edaran tersebut diwajibkan melakukan dialog dengan pekerja. Dialog tersebut untuk mencapai kesepakatan yang dilaksanakan secara kekeluargaan dan dengan itikad baik dan berdasarkan laporan keuangan internal.
Hasil dari dialog ini harus dilaporkan ke Dinas Ketenagakerjaan setempat dengan pemberian THR paling lambat dilakukan sehari sebelum hari raya keagamaan. Terdapat sanksi bila terlambat atau bahkan tidak membayar THR tersebut.
"SE Menaker menyebutkan bahwa tidak memberikan peluang bagi yang tidak mampu. Itu hanya menekankan, bagi yang mampu minimal satu minggu sebelum Lebaran harus bayar. Yang tidak mampu harus lapor ke pemda, tapi paling lambat satu hari sebelum Lebaran harus bayar. Jadi tidak ada kata lain, harus bayar," katanya.
Menurut Anton, kewajiban tersebut tidak memberi kesempatan bagi perusahaan-perusahaan di sektor yang masih lesu seperti perhotelan atau transportasi, hingga UMKM. Padahal, sektor-sektor tersebut masih terseok untuk bisa mempertahankan operasional mereka.
"Kita tahu pandemi ini kan melanda bukan cuma kita tapi juga dunia. Kedua, ini juga bukan kesalahan perusahaan tapi force majeure. Mestinya ini keadaan tidak normal tapi dipaksakan supaya melakukan hal normal (membayar THR penuh)," katanya.
Anton menambahkan sikap pasrah itu disampaikan lantaran masukan pengusaha dalam perundingan tripartit ternyata tidak dihiraukan. Perwakilan pengusaha sudah menyatakan masalah yang dihadapi pengusaha.
"Semestinya kebijakan yang keluar itu (perusahaan) yang betul-betul tidak mampu silakan berunding bipartit karena yang paling tahu kondisi di dalam perusahaan adalah manajemen dan karyawan. Kedua, kita ini hanya mau ambil telur atau ayamnya yang kita pertahankan? Yang bijaksana harusnya seperti itu," pungkas Anton.
Ia pun pasrah jika nanti perusahaan dikenakan denda dan sanksi administratif sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.
"Terserah pemerintah, kan katanya ada sanksi. Silakan saja pemerintah yang urus karena ini sudah di luar kemampuan kami," kata Anton dikutip dari Antara, Sabtu, 8 Mei 2021.
Menurut Anton, berdasarkan keputusan pemerintah melalui Surat Edaran Menaker RI Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan tahun 2021 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, pembayaran THR harus sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Menaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Bagi perusahaan yang terdampak pandemi dan tidak mampu memberikan THR 2021 sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dalam edaran tersebut diwajibkan melakukan dialog dengan pekerja. Dialog tersebut untuk mencapai kesepakatan yang dilaksanakan secara kekeluargaan dan dengan itikad baik dan berdasarkan laporan keuangan internal.
Hasil dari dialog ini harus dilaporkan ke Dinas Ketenagakerjaan setempat dengan pemberian THR paling lambat dilakukan sehari sebelum hari raya keagamaan. Terdapat sanksi bila terlambat atau bahkan tidak membayar THR tersebut.
"SE Menaker menyebutkan bahwa tidak memberikan peluang bagi yang tidak mampu. Itu hanya menekankan, bagi yang mampu minimal satu minggu sebelum Lebaran harus bayar. Yang tidak mampu harus lapor ke pemda, tapi paling lambat satu hari sebelum Lebaran harus bayar. Jadi tidak ada kata lain, harus bayar," katanya.
Menurut Anton, kewajiban tersebut tidak memberi kesempatan bagi perusahaan-perusahaan di sektor yang masih lesu seperti perhotelan atau transportasi, hingga UMKM. Padahal, sektor-sektor tersebut masih terseok untuk bisa mempertahankan operasional mereka.
"Kita tahu pandemi ini kan melanda bukan cuma kita tapi juga dunia. Kedua, ini juga bukan kesalahan perusahaan tapi force majeure. Mestinya ini keadaan tidak normal tapi dipaksakan supaya melakukan hal normal (membayar THR penuh)," katanya.
Anton menambahkan sikap pasrah itu disampaikan lantaran masukan pengusaha dalam perundingan tripartit ternyata tidak dihiraukan. Perwakilan pengusaha sudah menyatakan masalah yang dihadapi pengusaha.
"Semestinya kebijakan yang keluar itu (perusahaan) yang betul-betul tidak mampu silakan berunding bipartit karena yang paling tahu kondisi di dalam perusahaan adalah manajemen dan karyawan. Kedua, kita ini hanya mau ambil telur atau ayamnya yang kita pertahankan? Yang bijaksana harusnya seperti itu," pungkas Anton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News