Di Indonesia terdapat berbagai jenis pertambangan, dan yang paling banyak adalah pertambangan batu bara. Kemudian dilanjutkan dengan pertambangan nikel, pertambangan tembaga, pertambangan emas, dan sebagainya.
"Jika dilihat dari sektor pertambangan batu bara, harganya saat ini meroket hingga hampir menyentuh USD400 per ton. Tentunya itu sangat luar biasa, dan itu masih menjadi primadona Indonesia. Oleh sebab itu, karena demand tinggi sekali, negara-negara Eropa pun sekarang juga sudah kembali mulai impor batu bara lagi dari Indonesia," kata Tony Wenas, dikutip Media Indonesia.
Nikel pun saat ini harganya menyentuh USD23 ribu per ton, merupakan suatu hasil yang baik bagi Indonesia dan industri pertambangan nikel.
Sementara, tembaga saat ini mengalami penurunan harga dibandingkan enam atau tujuh bulan lalu. Hal ini karena kekhawatiran para investor akan terjadinya resesi.
Walau demikian, Tony memandang ke depannya harga serta permintaan tembaga dan nikel akan terus meningkat. Hal ini karena tembaga dan nikel berperan dalam ekosistem mobil listrik. Tembaga akan dibutuhkan dalam jumlah yang banyak untuk aliran listrik mobil. Begitu pun nikel akan dipergunakan untuk kebutuhan baterai mobil listrik.
"Saat ini orang-orang berlomba untuk membangun renewable energy, seperti mobil listrik. Dan mobil listrik ini membutuhkan tembaga dan nikel yang luar biasa banyaknya. Maka dari itu, kita melihat prospek pertambangan Indonesia ke depannya sangat besar sekali," ujarnya.
Mengenai perkembangan PTFI, Tony mengungkapkan business plan PTFI akan melakukan penambangan hingga 2041 dengan produksi level 100 persen.
"Kita tidak akan mencari tambang baru, kita punya business plan PTFI di area 10 ribu hektare. Jadi dengan wilayah tersebut, PTFI akan menambang sampai 2041. Kedepannya business plan kita itu saja," ungkapnya.
Selanjutnya, dalam perkembangan smelter yang dikelola oleh PTFI, Tony mengatakan saat ini progress dari smelter tersebut sudah lebih dari 35 persen. Dan pada akhir tahun diperkirakan akan mencapai 50 persen dengan total biaya USD1,5 miliar.
"Diharapkan pada akhir 2023, mechanical complexion sudah selesai dan mulai commissioning dan free commissioning sehingga produksi pertama diharapkan dapat berjalan pada bulan Mei 2024," ujar Tony.
Tony melanjutkan, untuk Sumber Daya Manusia (SDM), PTFI tentunya banyak menyerap tenaga kerja masyarakat Papua. Tentunya hal tersebut dilakukan PTFI untuk mendukung serta memajukan kesejahteraan masyarakat di Papua tersebut.
"Di tambang kita ini, terdapat sudah hampir 30 ribu orang Papua. Saya punya wakil direktur anak-anak Papua, bahkan kepala tambang bawah tanah di sana itu adalah anak Papua, kemudian konstruksi tambang bawah tanah itu yang membuat anak-anak bangsa dan kepalanya adalah anak-anak Papua. Tentunya ini kita lakukan untuk mendukung serta untuk memajukan kesejahteraan bagi masyarakat Papua," tutur Tony.
Lebih lanjut, untuk smelter itu sendiri saat ini masih dalam tahap progress konstruksi dan ditargetkan smelter tersebut dapat selesai dengan cepat serta dengan kualitas yang bagus.
Ke depannya PTFI juga akan mempekerjakan sekitar 1.000 orang jika konstruksi smelter tersebut dapat selesai dengan tepat waktu.
"Smelternya ada di Gresik, Jawa Timur dan tentu saja kita akan mix para pekerja nanti. Jadi kalau smelternya ada di Gresik, tentu saja recruitmentnya akan dimulai dari Gresik terlebih dahulu. Namun tentu saja para tenaga-tenaga qualified dari papua akan kita pekerjakan juga di smelter yang ada di Gresik," ujarnya.
Selain itu, PTFI juga berkomitmen untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon. PTFI menargetkan 30 persen untuk pengurangan emisi karbon ini pada 2030.
"Kita komitmen untuk mengurangi emisi karbon 30 persen pada tahun 2030, sekarang ini progress sudah lebih dari 20 persen dan diharapkan setidaknya 30 persen pada 2030, bahkan mungkin bisa lebih," jelasnya.
Dalam hal ini, Indonesia terus berupaya menargetkan penurunan emisi karbon dapat tercapai pada tahun 2060 dengan pemanfaatan energi baru dan terbarukan secara optimal.
Menurut Tony, renewable energy adalah suatu keniscayaan yang mau tidak mau harus dilakukan. "Jadi ini target Indonesia net zero adalah tahun 2060, oleh sebab itu seluruh elemen bangsa ini harus bergerak ke arah itu dan bukan hanya sektor pertambangan saja, namun sektor lain juga harus bisa bergerak ke arah net zero emission carbon tersebut," ujarnya.
Tony melanjutkan, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk bergerak ke arah net zero emission carbon, terutama dalam hal energi seperti pengurangan listrik yang menggunakan batu bara dan digantikan dengan energi baru yang rendah emisi.
Kemudian melakukan penanaman kembali, salah satunya memperbanyak penanaman hutan bakau (mangrove). Menurut Tony, hutan bakau dapat menyerap karbon dengan kapasitas yang banyak dibandingkan dengan pohon-pohon lainnya.
Sementara itu, dibandingkan dengan negara-negara di dunia lainnya, Indonesia juga dapat diunggulkan dengan memiliki 190 juta hutan yang dapat dimanfaatkan dalam pengurangan emisi karbon.
"Program-program lainnya yang mendukung low carbon emission harus tetap digalakkan. Mari kita bergerak bersama-sama seluruh elemen bangsa untuk mendukung apa yang sudah digariskan oleh pemerintah yaitu berkontribusi positif bagi perekonomian Indonesia dengan target 2060 net zero emission carbon," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News