Istimewa
Istimewa

Legislator Ingatkan Ancaman Stagflasi

Al Abrar • 02 Agustus 2022 12:50
Jakarta: Ancaman terjadinya stagflasi bisa menghantam perekonomian nasional. Situasi tersebut dapat dilihat antara lain dari rilis IMF dalam World Economic Outlook (WEO) edisi Juli 2022 yang memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global untuk 2022 menjadi 3,2 persen. 
 
"Beberapa faktor pendorong pemangkasan tersebut adalah, pertama adanya perlambatan ekonomi yang lebih tajam di Tiongkok akibat perpanjangan lockdown, sehingga memperburuk gangguan rantai pasokan global," kata Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo, Selasa, 2 Agustus 2022. 
 
Faktor kedua, kata Andreas, pengetatan likuiditas global terkait kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif oleh Bank Sentral negara maju (the Fed, ECB, dan Bank of England). Ketiga adalah dampak dari perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan.

Selain itu Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, kembali menaikkan Fed Funds Rate (FFR) sebesar 75 bps dari 1,50-1,75 persen menjadi 2,25-2,50 persen pada FOMC Juli 2022. The Fed menegaskan kembali kenaikan FFR lanjutan masih diperlukan, dan akan tetap melanjutkan proses pengurangan balance sheet secara signifikan. 
 
"Target suku bunga The Fed akan berada pada 3,5 persen di 2022 ini dan kemungkinan mencapai peak-nya di semester I-2023 sebelum kembali turun di semester II," ucapnya.
 
Baca: KSSK Pantau Risiko Stagflasi ke Ekonomi RI
 
Sementara, kata Andreas, ekonomi Tiongkok juga hanya tumbuh 0,4 persen yoy di kuartal II-2022, melambat tajam dari pertumbuhan 4,8 persen di kuartal I-2022. Pertumbuhan tersebut adalah laju ekspansi paling rendah sejak kontraksi pada kuartal I-2020 ketika awal pandemi covid-19 terjadi. 
 
"Tantangan perlambatan ekonomi AS dan Tiongkok akan berdampak kepada kinerja ekspor di semester II ini dan 2023, terutama dikaitkan dengan kinerja ekspor industri manufaktur," katanya.
 
Selain itu, kata dia, perang Rusia-Ukraina juga membuat kebijakan proteksi yang dilakukan berbagai negara dalam rangka melindungi kepentingan dalam negerinya terganggu. 
 
Stagflasi merupakan kondisi pertumbuhan yang stagnan cenderung lemah, sementara di sisi lain inflasi meroket. Stagflasi terakhir kali terjadi pada 1970-an. Antara 1973 dan 1981, inflasi AS selalu di atas enam persen dengan pengecualian pada 1976 (4,86 persen). Sementara inflasi di AS di Juni 2022 ini meroket hingga 9,1 persen. 
 
"Dampak yang akan terjadi di Indonesia yang jelas adalah akan terjadi pelambatan pemulihan ekonomi nasional karena arus investasi diperkirakan akan kembali ke pasar AS dan nilai tukar rupiah akan tertekan," katanya.
 
"Kita berharap Indonesia tidak mengalami dampak parah dari stagflasi global ataupun mengalami stagflasi," tambahnya.
 
Namun, kata Andreas, jika stagflasi global benar-benar terjadi dan berkepanjangan, maka dampaknya akan sulit dihindari. Dengan demikian ancaman melonjaknya pengangguran, merosotnya daya beli masyarakat serta kenaikan harga akan sulit dihindari. Situasi ini akan diperburuk dengan munculnya berbagai problem sosial seperti meningkatnya kejahatan.
 
Bagi Indonesia, sampai saat ini inflasi masih terkendali karena keberhasilan dalam menjaga lonjakan harga kebutuhan pangan. Dengan demikian, dampak stagflasi global diperkirakan tidak akan dirasakan dalam jangka pendek. 
 
Kendati demikian, Pemerintah juga harus ekstra waspada karena faktor eksternal (global) yang tidak menentu. Namun paling tidak. potret positif dalam negeri bisa dilihat dari Bank Indonesia yang mempertahankan BI-7DRRR pada level 3,50 persen pada Juli, sejalan dengan prakiraan inflasi inti yang masih terkendali di tengah risiko dampak perlambatan ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi domestik. 
 
Selain itu inflasi inti masih relatif rendah sebesar 2,63 persen yoy. Neraca perdagangan pada Juni 2022 juga kembali meningkat menjadi USD5,09 miliar karena kinerja ekspor yang kembali menguat menyusul pembukaan kembali ekspor CPO. 
 
Sepanjang semester I tahun ini, surplus neraca perdagangan mencapai USD24,88 miliar atau lebih dari dua kali lipat dibanding surplus 2021. Tidak ketinggalan, kinerja perbankan membaik seiring dengan akselerasi pertumbuhan kredit di tengah membaiknya tingkat mobilitas dan permintaan publik. 
 
Selain itu, pertumbuhan kredit terus meningkat menjadi 10,3 persen yoy pada Juni 2022. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit akan berada di kisaran 9-11 persen di 2022, sementara kualitas aset seperti yang terlihat pada Loan at Risk (LaR) turun ke 18,2 persen per Maret 2022 atau turun drastis dibandingkan posisi Desember 2021 yang mencapai 25,1 persen.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan