"Dampak dari Omnibus Law diperkirakan tidak akan signifikan dalam meningkatkan daya saing dan investasi. Masalahnya, ada beberapa indikator," jelas Bhima dikutip dari Media Indonesia, Minggu, 4 Oktober 2020.
Masalah pertama, lanjut dia, RUU Cipta Kerja mengubah ratusan pasal. Sehingga, butuh perubahan ribuan aturan teknis di level peraturan pemerintah, peraturan Menteri, hingga peraturan daerah.
"Ini justru memberi ketidakpastian, karena banyaknya aturan yang berubah di tengah resesi ekonomi. Padahal investor butuh kepastian," tambahnya.
Indikator kedua, regulasi tersebut tidak langsung memacu daya saing dan investasi karena adanya aksi penolakan dari serikat buruh. Kondisi itu berpotensi merusak hubungan industrial di level mikro maupun tingkat perundingan perusahaan (bipartit). "Karena ancaman mogok kerja bisa turunkan produktivitas. Yang rugi juga pengusaha," imbuhnya.
Investasi juga tidak bisa langsung masuk ke Tanah Air. Sebab, banyak variabel yang menjadi pertimbangan investor. Seperti, keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi, efektivitas insentif fiskal dan nonfiskal, berikut ketersediaan bahan baku dan biaya logistik.
"Investor di negara maju sangat menjunjung fair labour practice dan decent work. Hak buruh sangat dihargai, bukan sebaliknya. Menurunkan hak buruh bertentangan dengan prinsip negara maju," pungkas Bhima.
Gelombang penolakan terhadap RUU Cipta Kerja tidak hanya berasal dari buruh, namun juga elemen lain yang dirugikan. Misalnya petani yang dirugikan dengan adanya klausul impor pangan yang disamakan dengan produksi pangan dan cadangan nasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News