Ilustrasi kebijakan dmo sawit 30% - - Foto: MI/ Amiruddin
Ilustrasi kebijakan dmo sawit 30% - - Foto: MI/ Amiruddin

Kinerja Perdagangan RI Terpengaruh Kebijakan DMO 30%

Fetry Wuryasti • 16 Maret 2022 17:13
Jakarta: Peningkatan besaran Domestic Market Obligation (DMO) dari 20 persen menjadi 30 persen akan memengaruhi kinerja perdagangan Indonesia. Kebijakan ini akan mendistorsi pasar global dan membawa implikasi pada hubungan Indonesia dengan mitra dagangnya.
 
"Kebijakan ini juga berpotensi memicu retaliasi atau pembalasan dari mitra dagang dan akan memengaruhi kestabilan harga komoditas kelapa sawit di pasar internasional," jelas Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, Rabu, 16 Maret 2022.
 
Felippa melanjutkan, sangat penting bagi pemerintah untuk memastikan komitmennya pada kontrak-kontrak yang sedang berjalan antara produsen kelapa sawit dengan pembeli. Bertambahnya kewajiban untuk memenuhi ketersediaan crude palm oil (CPO) pada pasar domestik dikhawatirkan dapat membuat komitmen tersebut tidak tercapai.

Jika banyak komitmen ekspor atau perdagangan yang tidak terpenuhi, maka Indonesia bisa terlihat seperti mitra dagang yang tidak bisa diandalkan. Padahal, saat ini Indonesia sebagai tuan rumah G20 punya posisi kuat untuk memimpin koordinasi dan kerja sama internasional demi pemulihan ekonomi global.
 
Kebijakan dan posisi Indonesia akan memiliki pengaruh yang besar terhadap kerja sama dan komitmen antar-negara untuk menjaga kelancaran perdagangan yang sangat dibutuhkan untuk memitigasi krisis harga pangan dunia. Indonesia seharusnya bisa membuktikan komitmennya untuk menjaga terus berjalannya kerjasama tersebut.
 
Ia memaparkan, tidak semua jenis minyak sawit bisa dipakai untuk minyak goreng. Sementara itu, Permendag 8/2022 memperluas DMO ke 60 HS yang akan berdampak pada turunan kelapa sawit yang tidak ada hubungannya dengan minyak goreng (oleochemical), ikut terkena dampak kenaikan DMO.
 
"Pelarangan ekspor bikin supplier palm oil menyuplai industri oleochemical (dan biodiesel). Makanya industri lain ikutan kena," urainya.

Pengusaha kesulitan penuhi kebijakan DMO

Kesulitan bagi swasta untuk memenuhi kenaikan besaran DMO juga diperparah oleh adanya Harga Eceran Tertinggi (HET) karena menghilangkan insentif pengusaha untuk menjual minyak goreng ke pasar dan membuat harga semakin sulit untuk turun ke tingkat normal.
 
HET akan sulit dicabut karena mencabut HET berarti harga akan naik dan hal tersebut menguntungkan spekulan. Meski begitu, jika HET dibuka dan spekulan melepas minyak goreng, seharusnya harga akan turun secara sendirinya (meski mungkin masih di atas HET), apalagi jika benar CPO di pasar sudah melimpah.
 
Menambah bea keluar, meskipun tidak ideal, bisa jadi solusi yang lebih kecil distorsi pasarnya daripada DMO ataupun pelarangan ekspor. Hasil pengenaan bea keluar tersebut dapat digunakan untuk mensubsidi masyarakat secara langsung.
 
Untuk pungutan ekspor, dananya dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), yang berada di bawah Kementerian Keuangan.
 
"Pengenaan bea keluar memang pilihan yang tidak mudah di saat seperti sekarang ini. Tetapi Indonesia dapat tetap menjaga kinerja perdagangannya sembari turut memastikan pasokan CPO yang dibutuhkan industri minyak goreng tetap terjaga,” kata Felippa.

 
Baru-baru ini, pemerintah mengumumkan adanya penambahan batas wajib pasok kebutuhan dalam negeri atau dikenal dengan istilah DMO sebesar 30 persen. Sebelumnya, kebijakan DMO untuk minyak goreng hanya sebesar 20 persen.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Des)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan