Kepala Divisi Pengelolaan Rantai Suplai dan Analisis Biaya SKK Migas Erwin Suryadi mengatakan, SKK Migas berupaya menjembatani kebutuhan KKKS dan produksi industri dalam negeri.
"Artinya dengan meningkatnya target ini juga memberi manfaat pada meningkatnya penggunaan industri penunjang di dalam negeri untuk bisa berpartisipasi. Jangan sampai industri migasnya berkembang, tapi industri penunjangnya tidak melibatkan industri dalam negeri," kata Erwin dalam webinar bertajuk Hulu Migas Datang Industri Berkembang, Selasa, 12 Oktober 2021.
Ia mengatakan memang hingga saat ini pihaknya masih merekam potensi nilai multiplier effect terhadap industri nasional yang bisa tercipta dari kegiatan-kegiatan hulu migas. Diharapkan di akhir tahun, potensi tersebut dapat tergambar dengan jelas.
Erwin juga masih optimistis industri hulu migas dapat memberikan kontribusi puluhan triliun pada negara. Sebab, berdasarkan capaiannya pada 2020, kontribusi hulu migas ke penerimaan negara mencapai Rp122 triliun atau tercapai 144 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2020.
Hingga Agustus 2021, penerimaan negara dari sektor hulu migas sudah mencapai Rp125 triliun atau 125 persen dari target 2021.
Selain itu industri migas juga telah berkontribusi bagi industri lain selama 2020-2021 dengan nilai keseluruhan kontrak yang mencapai USD7,127 miliar. Adapun penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) industri migas hingga kuartal ketiga 2021 telah mencapai 57 persen atau komitmennya senilai Rp39 triliun.
Erwin mengatakan tidak hanya mendekatkan KKKS dengan industri lokal, SKK Migas juga turut memastikan kualitas dari produksi yang dihasilkan industri dalam negeri memenuhi spesifikasi sektor hulu migas. Sebab, hulu migas merupakan sektor dengan tingkat risiko yang tinggi terutama dari sisi keselamatan.
Ia bilang apabila produk dalam negeri tidak bisa memenuhi kualitas yang dibutuhkan, maka sangat mungkin untuk diisi oleh produk luar negeri. Apalagi, pemerintah juga telah menetapkan prosedur masterlist atau pembebasan bea masuk bagi impor barang penunjang yang tidak bisa diproduksi di dalam negeri.
Hal senada juga disampaikan oleh Dewan Ketua Gabungan Perusahaan Nasional Rancang Bangun Indonesia (Gapenri) Joseph Pangalila. Joseph mengatakan keamanan dan keandalan menjadi aspek nomor satu yang wajib dipenuhi oleh industri dalam negeri yang memproduksi barang-barang kebutuhan industri migas.
"Kita pastikan bahwa produk dalam negeri yang dipakai kualitasnya sama dengan produk impor. Semua produk dalam negeri yang sudah dipakai dari sisi keamanan ya pasti memenuhi," tutur Joseph.
Commercial Director Krakatau Pipeline Industry (KHI) Denny Prasetya mengatakan pihaknya siap meraih peluang untuk dapat menjadi ujung tombak substitusi impor barang-barang di industri hulu migas. Sejumlah langkah pun telah diambil agar bisa lebih bersaing dengan produk-produk impor.
"Kami telah melakukan efisiensi besar-besaran dalam memproduksi barang-barang yang dihasilkan terkait dengan amanat pemerintah. Langkah ini diambil guna menghasilkan produk yang lebih bersaing dibandingkan produk impor," kata Denny.
Ada sanksi
Namun demikian, Erwin mengatakan pemerintah telah menetapkan reward and punishment bagi KKKS yang tidak memenuhi aspek TKDN, dengan kata lain barang tersebut sebenarnya bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri, namun lebih memilih untuk tetap impor.
"Sanksi sudah diatur, pembebasan bea masuk enggak dapat diberikan dan biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan barang tersebut tidak bisa digantu oleh konsep cost recovery. Bahkan konsep gross split juga tegas mengatur apabila TKDN enggak capai target, maka split KKKS akan dikurangi secara proporsional," jelas Erwin.
Sementara itu pengamat migas dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan perlu ada penyesuaian parameter yang lebih jelas terkait penggunaan TKDN ini. Ia mengatakan bukan hanya terkait dengan spesifikasi yang bisa dipenuhi, namun juga terkait dengan harga.
Menurut Komaidi, apabila harga produk dalam negeri lebih mahal, maka KKKS akan mempertimbangkan untuk memilih impor. Selain itu, problematika harga juga kerap kali menjadi temuan otoritas hukum dan lembaga audit negara.
"Biasanya secara teknis memenuhi, tapi harga lebih mahal tentu ada beberapa pertimbangan untuk enggak memilih di dalam negeri. Karena ada hal-hal di dalam konteks pengadaan kalau memang lebih mahal dipilih namun di kemudian hari bisa jadi temuan," pungkas Komaidi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News