"Ini sebenarnya sudah lama, proses pembuatan pakaian dengan menggunakan sistem ecoprint," kata produsen fesyen ecoprint Fadilah Kusuma, dikutip dari Antara, Selasa, 18 Mei 2021.
Ia mengatakan awalnya Negara yang memulai produksi tersebut yaitu Australia dan di Indonesia akhir-akhir ini mode tersebut mulai berkembang. Menurut dia, selama ini proses produksi ecoprint menggunakan beberapa cara, yaitu dengan cara kain dikukus bersamaan dengan bahan baku dan pengepresan.
"Jadi daun yang menjadi motif tersebut dipres ke kainnya. Caranya dengan memukul daunnya dengan palu, ini namanya dipres," katanya.
Warga Kecamatan Jumantono, Kabupaten Karanganyar ini mengaku lebih memilih menggunakan teknis pengepresan karena memudahkan penyambungan motif saat kain dijahit menjadi pakaian. Dengan demikian, secara visualisasi maka pakaian menjadi tampak lebih rapi.
Untuk motif yang digunakan, ia memilih menggunakan daun jati. Selain mengandung pewarna yang cukup kuat, daun jati sendiri cukup mudah diperoleh di tempat tinggalnya. Untuk proses produksinya, ia berupaya berkomitmen untuk mengusung konsep ramah lingkungan.
"Jadi untuk kainnya ada sebagian yang saya warnai menggunakan pewarna alam dengan menggunakan kopi, kayu secang, dan kulit bakau. Kalau awalnya kain putih semua, tetapi ada sebagian yang saya warnai sehingga terlihat lebih cantik," katanya.
Sementara itu, dikatakannya, untuk harga jual berbagai produk ecoprint tersebut mulai dari Rp25 ribu untuk dompet. Selain itu, untuk topi dijual dengan harga Rp100 ribu dan pakaian mulai dari Rp300 ribu-Rp400 ribu per potong.
"Saya cukup optimistis dengan pasarnya karena semua orang mulai sadar akan lingkungan, orang suka yang ramah lingkungan," katanya.
Mengenai pemasaran, dikatakannya, sejauh ini ia belum melakukan ekspor secara mandiri karena keterbatasan kemampuan produksi.
"Sejauh ini pemasarannya lewat reseller. Ekspor sendiri belum pernah karena kuantitas besar belum bisa," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News