Hal ini menyusul rencana Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) yang bersiap menghapus bahan bakar minyak (BBM) jenis premium mulai 2022.
"Mewujudkan kualitas udara yang bersih dan sehat tentu sangat kita harapkan, namun Pemerintah tidak bisa memberlakukan kebijakan penghapusan dua jenis BBM idola kelas menengah-bawah ini secara merata. Karena terdapat banyak faktor yang menyebabkan kualitas udara suatu daerah khususnya di kawasan perkotaan", ungkap Sultan dikutip dari Mediaindonesia.com, Senin, 27 Desember 2021.
Menurutnya, jika orientasinya adalah meningkatkan kualitas udara, maka penghapusan BBM jenis premium harus didasarkan pada AQ Index (AQI) di suatu daerah. Indeks kualitas udara (Air Quality Index/AQI) berbeda-beda di setiap daerah tergantung jumlah kepadatan kendaraan dan industri.
"Buatkan saja aturan lintas kementerian baik KLHK dan Kemenkeu yang menetapkan batas-batas atau standar AQI di semua daerah untuk diberlakukan ada tidaknya BBM jenis premium," kata mantan Wakil Gubernur Bengkulu itu.
Menurutnya, kebijakan tersebut akan terasa lebih adil dan proporsional. Apalagi situasi ekonomi masyarakat belum benar-benar pulih di tengah pandemi.
"Jangan sampai masyarakat daerah dan desa harus menanggung beban ekonomi yang diakibatkan oleh penduduk di kawasan kota penghasil emisi atau polusi udara," tegasnya.
Dia melanjutkan, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan resiko ekonomi nasional yang ditopang oleh pola konsumsi masyarakat karena BBM menjadi faktor yang sangat menentukan bagi gejolak inflasi dan daya beli masyarakat di mana efek dominonya sangat luas.
"Kami sangat menyadari kondisi fiskal kita sedang tidak baik-baik saja, tapi jangan rakyat kecil yang dikorbankan. Artinya, subsidi BBM masih dibutuhkan untuk saat ini. Pemerintah hanya perlu merapikan data penerima BBM bersubsidi," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News