Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Achmad Dimyati mengatakan, wacana pembahasan RUU Perampasan Aset ini terjadi tidak terlepas dari gagalnya sistem hukum yang ada. Selama ini penegak hukum dinilai gagal untuk mengembalikan kerugian negara secara cepat dan maksimal.
"Kan kita sudah ada UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), tapi lambat dan tidak maksimal penerapannya. Karena itu, ada keinginan eksekutif dan legislatif untuk kembali membahas RUU Perampasan Aset," kata Dimyati pada diskusi virtual di Jakarta, Selasa, 20 April 2021.
Menurut dia, langkah ini merupakan bagian dari penyempurnaan hukum yang telah ada. Apalagi keuangan negara saat ini sedang mengalami kesulitan, sehingga prioritas penanganan kejahatan ekonomi bukan hanya kepada penghukuman aspek pidana, namun juga pada aspek perdata berupa perampasan aset hasil dari tindak kejahatan.
"Urgensi RUU Perampasan Aset karena Indonesia sedang mengalami defisit keuangan, sementara disaat bersamaan marak kejahatan keuangan dan menguras kekayaan sumber daya alam negara," ungkap dia.
Ia menegaskan, perlu adanya kesamaan paradigma dalam menegakkan hukum, supaya tujuan dari pembentukan UU Perampasan Aset dapat tercapai. Dengan begitu, pengembalian kerugian negara bisa secara maksimal dilakukan, terutama pada kasus BLBI, Jiwasraya dan Asabri.
"Keinginan eksekusi dan legislatif perlu juga didukung komitmen dari yudikatif. Penyelenggara hukum harus bersih, bersih ini bagaimana? Orang merampok Asabri, Jiwasraya, ini perlu dikejar asetnya. Karena itu, integritas penegak hukum jangan sampai kalah dengan uang," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News