Ketua APTI Jawa Barat Suryana mengatakan kebijakan penaikan dan simplifikasi cukai rokok bakal berdampak pada turunnya harga tembakau yang merugikan petani tembakau. Bila simplifikasi cukai rokok diberlakukan, maka hanya akan menguntungkan satu perusahaan besar asing dan merugikan para petani tembakau di Indonesia.
"Kenaikan cukai tembakau itu efek yang dirasakan petani sangat terasa karena harga tembakau anjlok dengan turunnya permintaan pabrikan. Bahkan, pengusaha cenderung tidak mau membeli tembakau yang dihasilkan petani lokal," ujar Suryana dalam keterangan tertulis yang diterima Medcom.id, Rabu, 8 Juli 2020.
Berdasarkan pengalaman 2019 ketika pemerintah menaikkan cukai dan harga jual eceran (HJE) tembakau masing-masing sebesar 23 persen dan 35 persen telah membuat hasil panen petani tembakau selama enam bulan tidak ada yang membeli. Dari kasus tersebut, pihaknya mengambil kesimpulan bahwa ada penurunan harga jual tembakau dari petani, adanya penurunan produksi, dan terjadi penurunan volume.
"Kami menolak kenaikan cukai 2021, karena dengan kenaikan cukai 23 persen HJE 35 persen sangat memberatkan bagi para petani tembakau karena berimbas kepada penurunan harga jual tembakau," ketusnya.
Sedangkan penolakan terhadap rencana simplifikasi pemungutan cukai, menurut Suryana, kebijakan tersebut hanya akan menguntungkan satu pabrikan atau perusahaan rokok besar asing yang ada di Indonesia. Perusahaan besar itu menginginkan penerapan simplifikasi terkait persaingan penjualan dengan perusahaan skala menengah.
"Jadi menurut kami perusahaan besar tersebut merasa takut tersaingi. Bisa dibilang itu salah satu strategi perang dagang," ucap Suryana.
Suryana mengaku telah menyampaikan keluhan tersebut kepada anggota DPR, termasuk dampak negatif ke depannya. Salah satu konsekuensi simplifikasi penerapan cukai adalah akan ada banyak bermunculan pengusaha-pengusaha rokok ilegal.
"Kami juga meminta kepada DPR untuk mendorong pemerintah mengenai pengalokasian dana bagi hasil cukai hasil tembakau atau DBHCHT yang minimal 50 persen untuk kesehatan itu dikembalikan 50 persennya untuk lima bidang kegiatan, karena saat ini (DBHCHT) sebagian besar habis untuk bantuan kesehatan," beber dia.
Suryana juga meminta DPR agar mendorong pemerintah turun tangan untuk menurunkan kuota impor tembakau. Sehingga ke depannya impor hanya untuk menutupi kekurangan produksi tembakau di Indonesia.
"Harus ada koordinasi yang jelas antara pusat dan daerah dalam penyaluran dana DBHCHT, sehingga ada keseragaman serapan dana DBHCHT. Jadi tidak ada ketimpangan antara wilayah satu dengan wilayah lainnya," pungkas Suryana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News