"Kebutuhan garam bagi sektor industri saat ini terus meningkat dengan produktivitasnya yang tinggi. Kami berharap, penyerapan garam berkualitas dari para petani garam dapat mendukung pemenuhan kebutuhan tersebut," kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dalam siaran persnya, Jumat, 19 Maret 2021.
Dengan fasilitasi Kemenperin, dalam dua tahun terakhir pelaksanaan Memorandum of Understanding (MoU) antara kelompok petani garam dengan pelaku industri, garam yang terserap mencapai lebih dari dua juta ton. Kemenperin menargetkan, penyerapan garam dari petani oleh sektor industri pada 2021 dapat naik hingga mencapai 1,5 juta ton.
"Ini merupakan penugasan dari Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian. Kami juga mendorong penyerapan untuk garam dengan kualitas mulai K2, K1, hingga premium," tegas Agus.
Sementara itu, Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) mengupayakan penyerapan hingga 1,5 ton pada 2021 untuk garam lokal dengan kadar NaCl minimal 90 persen, atau naik 13,8 persen dari tahun sebelumnya. Langkah selanjutnya adalah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin untuk mendata penyerapan garam oleh pelaku IKM.
"Kami juga mulai berkoordinasi langsung dengan koperasi binaan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)," ucap Ketua Umum AIPGI Tony Tanduk.
Di sisi lain, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) berkomitmen untuk meningkatkan penyerapan garam rakyat, di samping tetap menggunakan garam impor. Kebutuhan bahan baku garam pada industri makanan dan minuman tersebut untuk tahun ini akan berkisar 743 ribu ton. Angka itu lebih tinggi dari tahun lalu sebanyak 530 ribu ton.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman mengatakan untuk kebutuhan tahun ini, industri tidak akan sepenuhnya mengandalkan garam impor. Dia menyatakan telah ada komitmen penyerapan garam rakyat sebanyak 131 ribu ton. "Tentunya kalau PT Garam bisa menambah produksi garam industri, kami akan lebih besar penyerapannya," tuturnya.
Adhi menyebut industri makanan dan minuman dituntut membuat produk yang baik dengan masa simpan yang panjang. Alhasil, jika banyak ditemukan kontaminan, maka kualitas produk akan sulit bersaing.
"Petani kalau bisa bikin garam bagus dan harga bisa diatur supaya lebih untung tetapi dengan kualitas tinggi tentu akan diserap industri," lanjut dia.
Ia menegaskan bahwa garam industri punya kualitas tertentu yang harus dipenuhi. Misalnya, kadar NaCl minimal 97 persen, kadar zat pengotor pada garam juga harus rendah. Zat yang dimaksud adalah kalsium dan magnesium.
"Kita dituntut membuat produk yang baik dengan masa simpan yang panjang. Kalau memakai garam dengan kadar pengotor banyak, produk kita kalah saing," ungkap Adhi.
Industri makanan dan minuman pada 2020 mengimpor garam dengan nilai sebesar USD19 juta. Ekspor produk yang dihasilkan dengan bahan baku garam impor pada tahun yang sama, nilainya mencapai USD31 miliar. "Nilai impor garam kecil, tapi menghasilkan nilai ekspor yang besar," jelasnya.
Dia menambahkan bahwa industri makanan dan minuman ikut andil menyerap garam lokal. Proyeksi kebutuhan garam untuk industri sekitar 743 ribu ton tahun ini. Sebanyak 131 ribu ton di antaranya dipenuhi garam lokal. "Penyerapan garam lokal secara berkala terus meningkat," tutup Adhi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News