baca juga: Jadi Penghasil Sampah Makanan Ketiga Terbesar Dunia, RI Didesak Kelola Susut-Sisa Pangan |
"Ekosistem gula nasional itu harus terus diperkuat. Salah satunya bersama teman-teman APTRI atau Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia," kata Arief, dilansir Antara, Jumat, 5 Juli 2024.
Menurut Arief, penguatan ekosistem gula nasional harus dibangun mulai dari lini produksi, terutama bersama petani tebu rakyat. Ketika para petani tebu bersemangat tanam dan produksi, maka kemandirian pangan akan gula konsumsi dapat terwujud.
"Dengan harga yang baik, petani bisa mensuplai juga ke pabrik gulanya. Jadi petani happy, pabrik gula semakin modern, dan kebutuhan dalam negeri pun tercukupi. Ini luar biasa," ujarnya.
Arief mengatakan Bapanas mendukung penguatan ekosistem gula nasional dengan menetapkan sekaligus menjaga harga yang baik di tingkat produsen. Apalagi, kata Arief, saat produksi dalam negeri kian meningkat, maka pasokan gula konsumsi untuk kebutuhan dalam negeri dapat terpenuhi.
"Apa yang telah kita kerjakan selama ini mulai membuahkan hasil. Yang pertama adalah membangun ekosistem pangan, khususnya gula, mulai dari tebu diproduksi kemudian sampai dengan jadi gula. Gula ini di tingkat petani harganya kita jaga, kemudian sampai dengan di hilir, harganya juga kita jaga dengan baik," sambungnya.
Menurutnya, jika petaninya giat untuk menanam (nandur) dan harganya baik, maka gairah tanam padi petani akan terus ada dan hasilnya pun semakin baik dalam meningkatkan produksi.
"Ini kemandirian pangan, dengan kami memberikan harga yang baik kepada petani, maka petani bergairah untuk menanam," imbuhnya.
Ia pun berkomitmen menciptakan titik keseimbangan harga. Untuk itu, pihaknya telah menghitung struktur biaya secara kolaboratif, yang kemudian ditetapkan melalui kebijakan relaksasi gula konsumsi dari tingkat produsen sampai konsumen.
Sejak April 2024, harga gula konsumsi di tingkat produsen Rp14.500 per kilogram (kg) dan di tingkat retail atau konsumen Rp 17.500 per kg. Sementara untuk daerah Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Barat Daya, dan wilayah 3TP (Tertinggal, Terluar, Terpencil, dan Perbatasan), harga gula konsumsi di tingkat retail atau konsumen Rp18.500 per kg.
Sebelumnya relaksasi harga gula konsumsi berakhir pada 30 Juni 2024 dan terus diperpanjang kembali sampai dengan terbitnya Peraturan Badan Pangan Nasional tentang Perubahan Kedua atas Perbadan Nomor 11 Tahun 2022 yang mengatur HAP Gula Konsumsi. Demikian isi warkat Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan NFA Nomor 425/TS.02.02/B/6/2024 tanggal 26 Juni 2024.
"Bapanas sudah menghitung cost structure, itu bukan dilakukan sendiri, tapi bersama-sama melibatkan APTRI, BUMN, seluruh pihak Kementerian lembaga, sehingga angka itu adalah angka yang wajar. Ini karena Presiden Jokowi menyampaikan harus ada angka wajar di tingkat petani sampai konsumen," tuturnya.
Penetapan harga bagus untuk petani
Ketua Umum Pusat Koperasi Petani Tebu Rakyat Hamim Holili mengapresiasi terhadap penetapan harga gula yang diberikan pemerintah."Harga (gula) ini seperti yang disampaikan Kepala Bapanas (Arief Prasetyo Adi) dari Rp9.000 sekian per kilo, kemudian sekarang Rp14.500 per kilo. Itu angka yang sangat bagus untuk petani. Kepastian dari petani (menjadi) ada dan untuk sekarang bergairah petani. Petani senang bahagia karena hadirnya pemerintah, hadir dengan adanya Badan Pangan Nasional," ucapnya.
Sementara Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikun mengatakan kepentingan petani saat ini harus diperhatikan pemerintah karena berkaitan dengan produktivitas.
Menurutnya, jika ingin membangun kemandirian pangan, maka pendapatan petani ini harus dijaga. Apabila pendapatan petani ada peningkatan ke arah yang lebih baik, maka petani akan memperbaiki tanamannya.
"Selain itu, jika perbaikan tanaman itu terjadi yang akan kita peroleh adalah peningkatan produksi," kata Siemitro.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News