Menurut ESDM Arifin Tasrif, peluang pertama tentu saja Indonesia memiliki sumber daya baru dan terbarukan yang melimpah, terutama solar, diikuti oleh hidro, bioenergi, angin, panas bumi, dan lautan, dengan total potensi 648,3 GW, termasuk potensi uranium untuk pembangkit listrik tenaga nuklir.
"Hingga saat ini, baru dua persen dari total potensi yang telah dimanfaatkan," kata Arifin, melalui keterangan tertulisnya, Selasa, 9 November 2021.
Arifin menyoroti harga EBT yang mulai tumbuh kompetitif, khususnya harga solar PV global yang cenderung menurun. Apalagi didukung dengan pengembangan teknologi baru seperti pumped storage, hidrogen, dan Battery Energy Storage System (BESS) sehingga mengoptimalkan pemanfaatan potensi EBT yang melimpah di Indonesia.
"Ini bisa bersaing dengan energi fosil," ungkapnya.
Meningkatnya kebutuhan energi, jelas Arifin, mendorong pemerintah terus menyediakan akses energi ke seluruh lapisan masyarakat terutama di wilayah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal) dengan harga terjangkau dan memperhatikan ketersediaan sumber daya energi setempat. Kondisi ini sejalan dengan pemenuhan target rasio elektrifikasi seratus persen di 2022.
"Tentu ini menjadi peluang bagi pengembangan EBT karena harga bahan bakar fosil di daerah terpencil bisa begitu mahal, sedangkan sumber EBT tersedia dan dapat dimanfaatkan secara lokal," tegasnya.
Arifin bilang pemerintah terus memperkuat kerangka peraturan untuk memastikan keberhasilan transisi energi di Indonesia. Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021-2030 memberikan porsi lebih besar kepada EBT.
"Energi terbarukan akan berkontribusi lebih besar dalam penambahan kapasitas pembangkit listrik, 20,9 GW sumber energi terbarukan untuk listrik, atau 51,6 persen dari total kapasitas pembangkit yang akan dibangun hingga 2030," jelas Arifin.
Di samping itu, pemerintah juga menetapkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, yang mengatur tentang mekanisme perdagangan karbon dan pajak atas karbon.
"Salah satu prinsip utama dari kebijakan tersebut adalah mengenakan pajak karbon pada kegiatan yang menghasilkan karbon dan memberi insentif efisiensi-karbon," ungkap Arifin.
Arifin mengakui, penggunaan EBT sebagai sumber energi masih memiliki sejumlah tantangan seperti intermitten surya dan angin, keterbatasan kemampuan jaringan untuk menyerap listrik dari EBT, dan kurangnya minat dari lembaga keuangan untuk berinvestasi di sektor energi terbarukan.
Hal itu, tambahnya, karena risikonya yang tinggi, pembiayaan berbunga tinggi, biaya investasi yang tinggi untuk beberapa energi terbarukan seperti panas bumi, dan keterbatasan kemampuan industri dalam negeri, khususnya di bidang teknologi.
Kesiapan teknologi
Salah satu fokus yang tengah digarap oleh Kementerian ESDM, kata Arifin, adalah optimalisasi teknologi andal dalam pengembangan EBT. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian utama pemerintah.Pertama, pemanfaatan Solar Photovoltaic (PV). Ia menilai Solar PV layak dikembangkan di Indonesia mengingat besarnya potensi serta masa konstruksinya relatif lebih pendek daripada teknologi lain dan harganya kian kompetitif.
"Ada tiga program utama pengembangan solar yaitu Floating Solar PV, Solar Farm, dan Rooftop Solar PV. Solar PV juga akan dikembangkan lebih lanjut untuk produksi hidrogen," ungkap Arifin.
Selanjutnya ada penyimpanan energi (energy storage). Aspek teknologi ini juga menjadi kunci utama dalam pengembangan energi terbarukan secara masif seperti pumped storage yang akan mulai digunakan pada 2025 dan BESS yang akan digunakan secara masif pada 2021.
Tak hanya itu, inovasi teknologi sistem jaringan pintar (smart grid) yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat akan diperbanyak. Saat ini terdapat sembilan proyek smart grid yang menggunakan berbagai teknologi two-way communication, smart communication, smart microgrid, dan Advanced Metering Infrastructure (AMI).
"Smart grid akan meringankan masalah saat ini dari sebagian besar pembangkit listrik. Penerapan sistem energi berkelanjutan akan mendukung penerapan energi terbarukan yang efisien dan andal karena smart grid dapat menganalisis beban dan produksi listrik," jelas Arifin.
Terakhir, pengembangkan industri baterai litium dan kendaraan listrik. Kendaraan Listrik akan dikembangkan secara masif dengan target dua juta kendaraan roda dua dan 13 juta kendaraan roda empat.
Sebelumnya, Presiden RI juga meresmikan pendirian Indonesia Battery Corporation (IBC) guna mengintegrasikan industri baterai dari sektor hulu ke hilir untuk mewujudkan keberhasilan program kendaraan listrik.
"Kami juga memiliki regulasi untuk mempercepat pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai melalui pemberian insentif pajak dan kebijakan hilirisasi mineral untuk mendorong pengembangan industri baterai," tutup Arifin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News