Dalam beleid naskah tersebut, terdapat tambahan pasal di antara pasal 169 dan 170, salah satunya yakni pasal 169 B. Dalam pembahasan Panja di pasal tersebut telah disepakati antara Pemerintah dan DPR, bahwa perusahaan pertambangan bisa mengajukan permohonan untuk memperoleh izin usaha pertambangan khusus (IUPK) sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian lebih cepat sebelum kontrak karya (KK) atau perjanjian karya pertambangan batu bara (PKP2B) berakhir.
"Untuk memperoleh IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang KK dan PKP2B harus mengajukan permohonan kepada Menteri paling cepat dalam jangka waktu lima tahun dan paling lambat dalam jangka waktu satu tahun sebelum KK dan PKP2B berakhir," kata Wakil Ketua Komisi VII Eddy Soeparno saat membacakan naskah UU, Senin, 11 Mei 2020.
Dalam aturan yang lama di UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Minerba diatur bahwa pengajuan permohonan bisa dilakukan paling cepat dalam jangka waktu dua tahun dan paling lambat dalam jangka waktu enam bulan sebelum KK dan PKP2B berakhir. Dimajukannya waktu untuk mengajukan permohonan tersebut diklaim bertujuan untuk memberikan kepastian investasi di sektor pertambangan minerba.
Namun penambahan pasal ini pernah dikritisi oleh Ekonom Senior Indef Faisal Basri. Menurut Faisal adanya pasal tersebut sama halnya memberikan karpet merah bagi para konglomerat tambang terutama batu-bara.
Faisal mengatakan perubahan waktu pengajuan izin IUPK yang dipercepat menjadi keuntungan bagi pengusaha batu bara kakap yang mencoba menghindari rezim kepemimpinan selanjutnya. Ia bilang, di negeri ini ketika ganti rezim maka akan diikuti oleh pergantian kebijakan dan aturan yang kerap kali bertentangan.
"Ini untuk mengantisipasi pergantian rezim. Mereka investasi direzim sekarang, maka ingin diperpanjang di periode sekarang ini dengan proses pengamanan itu yang terjadi," jelas Faisal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News