Jakarta: Lembaga pemikir (think tank) nirlaba independen di bidang iklim dan energi, Ember mengungkapkan, investasi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia harus ditingkatkan menjadi UD20 miliar atau hampir Rp300 triliun per tahunnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menargetkan investasi energi terbarukan sekitar USD36 miliar atau USD7 miliar per tahun hingga 2025.
"Namun, jumlah ini belum mencukupi dan perlu ditingkatkan menjadi USD20 miliar per tahun hingga 2030," urai Analis Listrik Asia dari Ember Achmed Shahram Edianto dalam keterangan resminya, Senin, 19 September 2022.
Menurutnya, sebagian besar dari investasi ini perlu dialokasikan secara khusus untuk pengembangan tenaga surya dan bayu (angin), diikuti oleh investasi terhadap teknologi jaringan (grid) yang fleksibel.
Indonesia dikatakan memiliki potensi teknis yang tinggi untuk mengembangkan tenaga surya dan bayu berskala besar, masing-masing sekitar 1.462 gigawatt (GW) dan 500 GW.
Achmed berujar investasi energi bersih akan membayar imbal hasil jangka panjang dalam bentuk biaya bahan bakar yang lebih rendah. "Selain itu, sektor ketenagalistrikan dapat menciptakan lapangan kerja baru, hingga 265 ribu pekerjaan hijau yang ramah lingkungan," ucapnya
Penghentian PLTU batu bara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (biasa diistilahkan sebagai unabated coal) perlu dilakukan secara bertahap hingga 2040.
Ulasan Ember menyoroti investasi tahunan untuk sektor ketenagalistrikan harus meningkat tiga kali lipat dalam dekade ini hingga mencapai USD40 miliar, dan delapan kali lipat pada dekade berikutnya menjadi sekitar USD80 miliar, yang 50 persen dari angka ini harus diperuntukkan pengembangan energi terbarukan.
"Indonesia harus mampu mewujudkan dekarbonisasi di 2040 dan menyediakan pasokan energi yang berkelanjutan, terjangkau, dan tetap menjamin ketahanan energi nasional," kata Achmed.
Namun, ada beberapa tantangan, termasuk pengoperasian sistem ketenagalistrikan saat ini di bawah PT PLN, yang dinilai menghambat kemampuan sistem tersebut untuk beradaptasi dengan penetrasi tinggi energi terbarukan variabel seperti tenaga surya dan bayu.
Tantangan lainnya adalah ketidaksesuaian antara sumber EBT dan pusat permintaan (demand centers). Konektivitas antar wilayah, khususnya antar pulau-pulau utama, akan menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ini.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menargetkan investasi energi terbarukan sekitar USD36 miliar atau USD7 miliar per tahun hingga 2025.
"Namun, jumlah ini belum mencukupi dan perlu ditingkatkan menjadi USD20 miliar per tahun hingga 2030," urai Analis Listrik Asia dari Ember Achmed Shahram Edianto dalam keterangan resminya, Senin, 19 September 2022.
Menurutnya, sebagian besar dari investasi ini perlu dialokasikan secara khusus untuk pengembangan tenaga surya dan bayu (angin), diikuti oleh investasi terhadap teknologi jaringan (grid) yang fleksibel.
Indonesia dikatakan memiliki potensi teknis yang tinggi untuk mengembangkan tenaga surya dan bayu berskala besar, masing-masing sekitar 1.462 gigawatt (GW) dan 500 GW.
Achmed berujar investasi energi bersih akan membayar imbal hasil jangka panjang dalam bentuk biaya bahan bakar yang lebih rendah. "Selain itu, sektor ketenagalistrikan dapat menciptakan lapangan kerja baru, hingga 265 ribu pekerjaan hijau yang ramah lingkungan," ucapnya
Penghentian PLTU batu bara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (biasa diistilahkan sebagai unabated coal) perlu dilakukan secara bertahap hingga 2040.
Baca juga: Menkeu AS Dukung Transisi Energi RI Lewat Pendanaan |
Ulasan Ember menyoroti investasi tahunan untuk sektor ketenagalistrikan harus meningkat tiga kali lipat dalam dekade ini hingga mencapai USD40 miliar, dan delapan kali lipat pada dekade berikutnya menjadi sekitar USD80 miliar, yang 50 persen dari angka ini harus diperuntukkan pengembangan energi terbarukan.
"Indonesia harus mampu mewujudkan dekarbonisasi di 2040 dan menyediakan pasokan energi yang berkelanjutan, terjangkau, dan tetap menjamin ketahanan energi nasional," kata Achmed.
Namun, ada beberapa tantangan, termasuk pengoperasian sistem ketenagalistrikan saat ini di bawah PT PLN, yang dinilai menghambat kemampuan sistem tersebut untuk beradaptasi dengan penetrasi tinggi energi terbarukan variabel seperti tenaga surya dan bayu.
Tantangan lainnya adalah ketidaksesuaian antara sumber EBT dan pusat permintaan (demand centers). Konektivitas antar wilayah, khususnya antar pulau-pulau utama, akan menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News