"Indonesia masih defisit dengan Australia sebesar USD3,2 miliar pada 2019. Ini merupakan defisit yang cukup besar sehingga dengan adanya IA-CEPA ini kita akan mengurangi defisit tersebut,” kata Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto dalam konferensi pers di kantor Kemendag, Jakarta, Jumat, 10 Juli 2020.
Namun demikian, penurunan defisit neraca perdagangan pada tahun ini masih terkendala adanya pandemi covid-19. Menurut Agus, hasil signifikan pertumbuhan kinerja ekspor ke negeri Kangguru itu akan terjadi mulai 2021.
"Untuk target defisit memang saya melihat akan ada pengurangan yang signifikan di 2021. Jadi tidak di tahun ini karena baru mulai, diharapkan berkurang, tapi secara signifikan berkurangnya di 2021," ungkapnya.
Agus terus mengajak para pelaku usaha di Tanah Air melihat peluang implemetasi IA-CEPA yang berlaku mulai 5 Juli 2020 itu. Melalui IA-CEPA, kini Australia mengeliminasi sekitar 6.474 pos tarif menjadi nol persen di bidang perdagangan barang. Sementara Indonesia mengeliminasi 94,6 persen dari semua pos tarif perdagangan dengan Australia.
Mendag menambahkan komoditas impor dari Australia ke Indonesia mayoritas merupakan bahan baku dan penolong industri seperti gandum, batu bara, bijih besi, alumunium, gula mentah, serta susu, dan krim. Pengusaha di Indonesia juga bisa meningkatkan nilai tambah dengan melakukan ekspor kembali dalam bentuk produk olahan.
Pasar Australia dinilai cukup baik lantaran memiliki GDP per kapita yang tinggi, dan daya beli yang tinggi sebesar USD57 ribu atau 15 kali GDP per kapita Indonesia yang saat ini masih di level USD3.800 per kapita. Australia juga memiliki jaringan kerja sama perdagangan dan kerja sama ekonomi yang luas.
"Meskipun segi populasi Australia yang kecil yaitu 25 juta jiwa, jika dibandingkan dengan populasi Indonesia mencapai 270 juta jiwa, Australia mempunyai daya beli yang tinggi untuk produk-produk Indonesia," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News