Dalam mekanismenya, kebijakan DMO ini berlaku wajib untuk seluruh produsen minyak goreng yang akan melakukan ekspor. Nantinya eksportir yang akan mengekspor wajib memasok minyak goreng ke dalam negeri sebesar 20 persen, dari volume ekspor masing-masing perusahaan di 2022.
Menurut Tauhid, kebijakan penerapan DMO dan DPO minyak goreng memiliki efek domino yang negatif. Dengan kebijakan ini, ia menduga ada kecenderungan produsen minyak goreng untuk menahan ekspor (wait and see).
"Karena dikunci (untuk ekspor). Selain itu harganya disesuaikan dengan harga DMO, harga di domestik jauh lebih rendah untuk kebutuhan DMO," ujar Tauhid dalam Diskusi Publik Indef secara virtual, Kamis, 3 Februari 2022.
Karena produsen menahan ekspor, maka pasokan minyak goreng ke pabrik atau industri Crude Palm Oil (CPO) di dalam negeri menjadi tidak tersedia. Kondisi itu juga menyebabkan industri CPO mengurangi pembeliannya kepada petani.
"Dampaknya saya kira ke depan kami khawatir bahwa ekspor itu akan mengalami penurunan dan cenderung sudah dibaca oleh market bahwa harga akan menjulang tinggi," paparnya.
Implikasi lainnya, lanjut Tauhid, akan berdampak pada pungutan ekspor CPO yang tahun lalu mencapai sekitar Rp70 triliun. Kondisi ini akan berpengaruh besar pada kinerja keuangan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
"Jadi memang bahwa kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah, saya kira, terutama dengan Permendag (DMO dan DPO) ini dampaknya akan luar biasa pada sisi petani, ke industri, pabrik minyak goreng, maupun ke konsumen," urai dia.
Selain itu, kondisi ini juga mempengaruhi harga Tandan Buah Segar (TBS) yang ikut mengalami penurunan. Hal-hal itulah yang dikhawatirkan Tauhid, karena solusi 'sharing the pain' minyak goreng ini belum mendapatkan titik temu.
"Sehingga problemnya adalah banyak kemungkinan adalah bahan TBS-nya itu belum diolah secara optimal dengan situasi harga yang masih bergejolak sekarang. Saya kira ini yang akan menjadi isu yang harus dipecahkan, sehingga problem ketersediaan saat ini menjadi problem serius yang harus dihadapi," tegas dia.
Tauhid juga melihat masalah lainnya yakni 'sharing the pain' yang mampu dilakukan oleh pelaku industri minyak goreng yang disinyalir oligopoli ataupun monopoli. Dia bilang, titik kritis dari permasalahan ini bersumber dari hal tersebut sehingga dapat menentukan posisi petani dalam menjaga harga TBS tetap stabil.
Termasuk bargaining position petani saat mengambil keputusan ketika harga TBS rendah. Padahal dari aturan Kementerian Pertanian (Kementan), rumusan harga TBS mengikuti harga CPO itu sendiri.
"Dengan ini apakah terjadi pertentangan regulasi antara kebijakan Kementerian Pertanian mengenai penetapan harga TBS itu sendiri yang sangat inline (sejalan) dengan perkembangan harga CPO itu sendiri," pungkas Tauhid.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News