Dirinya menambahkan, UMKM biasanya memiliki ketahanan (resilience) saat terjadi masalah ekonomi. Sayangnya pembatasan aktivitas ekonomi hingga pembatasan sosial menyebabkan kemampuan UMKM menghadapi gejolak menjadi sangat terbatas.
"(Krisis) 1997-1998 UMKM masih resilience. Sekarang UMM terpukul paling depan karena ketiadaan kegiatan di luar rumah oleh semua masyarakat," kata dia dalam video conference di Jakarta, Rabu, 1 April 2020.
Bukan hanya UMKM saja, Sri Mulyani menilai aktivitas ekonomi di sektor korporasi juga terganggu akibat covid-19 ini. Bahkan gangguan aktivitas bisnis akan menurunkan kinerja bisnis, sehingga perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja dan mengalami ancaman kebangkrutan.
"Dan rantainya, pengaruhnya adalah kepada sektor keuangan yakni peningkatan dari NPL. Untuk buat korporasi atau pinjaman tetap bisa mengalir diperlukan langkah extraoradinary dari BI dan OJK agar kredit tidak ditutup yang menyebabkan ekonomi makin macet," jelasnya.
Selain itu, korona mempengaruhi sentimen di pasar keuangan sehingga menyebabkan banyak aliran modal keluar (capital flight) dari negara berkembang. Kondisi diperparah pula dengan tekanan nilai tukar serta volatilitas di pasar saham yang cukup tinggi.
"Permasalahan likuiditas dan insolvency (bangkrut) bisa menimbulkan ancaman di sektor keuangan. Ini ditambah volatilitas di sektor saham, forex dan SBN dengan capital flight yang sebabkan tekanan makin besar," pungkas dia
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News