Ahli Kebijakan dan Keuangan Publik Deddi Nordiawan mengatakan, kebijakan serupa diperlukan agar peran cukai hasil tembakau (CHT) sebagai instrumen pengendalian konsumsi bisa tercapai. Sayang struktur tarif CHT saat ini memiliki celah yang bisa dimanfaatkan untuk pabrikan besar dan maupun asing membayar tarif lebih murah.
baca juga: Tak Perlu Revisi, PP 109/2012 Dinilai Seimbang Mengatur Kebijakan Tembakau |
"Ini yang membuat penerimaan negara kurang optimal dan konsumsi rokok sulit terkendali karena banyaknya rokok murah. Padahal Indonesia sedang membutuhkan biaya yang besar untuk pemulihan ekonomi dan berjuang mengendalikan konsumsi," kata dia kepada wartawan dilansir di Jakarta, Sabtu, 30 Juli 2022.
Ia mengungkapkan, optimalisasi kebijakan cukai semestinya tidak hanya sebatas tarif dan harga, melainkan keseluruhan struktur cukai tersebut. Deddi menilai pemerintah telah mampu menetapkan perbedaan pabrikan besar dengan pabrikan kecil dalam produksi KLM dengan menetapkan batasan tertinggi empat juta batang per tahun.
"Ini merupakan kebijakan yang realistis untuk pabrikan kecil KLM, hal yang sama seharusnya dapat diterapkan di kebijakan cukai rokok biasa. Batasan produksi tertinggi pada rokok hingga mencapai tiga miliar batang, masih mudah sekali untuk dimanfaatkan oleh perusahaan besar membayar cukai lebih murah, dengan cara beralih ke golongan dua yang selisih cukainya sangat lebar," ujarnya.
Menurutnya, kondisi ini yang memicu perusahaan-perusahaan besar dan asing dapat menikmati tarif cukai murah asalkan produktivitas mereka kurang dari tiga miliar batang per tahun. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika produksi rokok di golongan 2 meningkat sehingga pemerintah perlu mengubah kembali aturan yang ada.
"Sebenarnya batasan produksi yang realistis untuk diterapkan kini adalah mengacu pada kebijakan yang berlaku pada sebelum 2017, yakni batasan produksi tertinggi untuk rokok biasa sebesar dua miliar batang per tahun," ungkap dia.
Sri Mulyani sebelumnya menerbitkan PMK Nomor 109/2022 yang membagi cukai KLM menjadi dua kelompok tarif. Pabrikan kelompok I yang memproduksi lebih dari empat juta batang dipungut cukai dan harga jual eceran lebih tinggi. Adapun kelompok II yang memproduksi KLM di bawahnya diberikan tarif cukai dan HJE lebih rendah. Kebijakan ini terutama bertujuan untuk melindungi pabrikan rumahan.
Peneliti Center of Human and Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Roosita Meilani menambahkan, ketetapan pemerintah yang membedakan secara tegas perusahaan dan produksi rokok KLM melalui batasan produksi merupakan bagian dari pengendalian konsumsi di masyarakat. Hal yang sama seharusnya berlaku juga untuk rokok biasa.
"Kebijakan batasan produksi yang sama semestinya berlaku di rokok biasa karena pengendalian konsumsi rokok di Indonesia masih rendah. Dengan produksi rokok tiga miliar batang menunjukkan penetrasi dan distribusi rokok cukup luas. Itulah sebabnya penyederhanaan golongan diperlukan agar mendorong penurunan prevalensi perokok khususnya perokok pemula dan anak-anak," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id