"Subsidi masih terbuka belum menyasar orang-orang yang berhak atas subsidi tersebut. Ini memang yang jadi bahan pemikiran kita juga di Kementerian ESDM, di BPH, di Kemenkeu, bagaimana cara kita agar subsidi ini tepat sasaran kita coba persempit konsumennya," kata Saleh dalam diskusi, Kamis, 1 September 2022.
Saleh meyakini dengan pendataan ini, maka penyaluran BBM subsidi tepat sasaran meski implementasinya masih menunggu aturan yang jelas. Merujuk beberapa upaya pembatasan ke belakang, Saleh mengklaim kalau sistem MyPertamina sudah paling siap.
Meski demikian, pihaknya mengakui sistem pendaftaran MyPertamina masih belum maksimal, karena baru sekitar 1 juta orang yang mendaftar. Satu hal yang menurutnya bisa mendorong jumlah ini adalah terbitnya revisi Peraturan Presiden Nomor Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM.
"Saya pikir MyPertamina lebih siap dan komprehensif dan bisa meminimalisir ketidaktepatan subsidi yang diberikan kepada masyarakat kita. Saya kira memang misalnya Perpres keluar, di situ clear apa yang di situ nanti promosi atau pendaftaran tentu akan dilakukan lebih masif," ujarnya.
Anggota Ombudsman RI Hery Susanto berpendapat kalau MyPertamina sebagai satu terobosan dalam digitalisasi meski pelaksanaan di lapangan masih belum tepat sasaran. Berdasarkan proses asesmen yang dilakukan oleh Ombudsman, pelaksanaan MyPertamina ini masih terbatas di sebagian kecil SPBU di daerah-daerah besar.
"Dalam catatan kami sebarannya sudah di 10 provinsi, dan belum semua kabupaten kota, dan jauh dari basis perekonomian rakyat di level bawah. Paling banyak ditemukan pendaftaran MyPertamina itu sopir, ojek dan lain-lain, nelayan kecil sekali, petani gimana akses mereka supaya bisa masuk MyPertamina, ini belum terserap dalam aplikasi tersebut," bebernya.
Temuan Ombudsman menyatakan adanya keterbatasan pengetahuan dari kelompok kecil tersebut untuk mendaftar melalui MyPertamina. Ini menjadi satu alasan karena seharusnya sosialisasi bisa dilakukan lebih masif lagi.
Baca juga: Penurunan Harga BBM Non Subsidi Dinilai Sudah Layak |
Sementara itu, peneliti senior Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mengatakan, sebetulnya ada tuga pijakan dasar untuk pengaturan masalah subsidi BBM secara keseluruhan. Pertama, UU APBN. Saat ini pemerintah bersama DPR sedang membahas RAPBN 2023.
Menurut Daeng, di UU APBN itu hanya mengatur level yang terlalu makro, tidak spesifik. Misalnya indikator pada siapa yang berhak subsidi, yaitu masyarakat miskin, maka harus disasasr langsung. Di negara lain seperti di Malaysia 40 persen penduduk kelas bawah. Sekitar 110 juta penduduk Indonesia berhak menerima subsidi.
"Tapi indikator harus jelas, di UU APBN samar yakni ada subsidi dan kompensasi. Ini yang menyamarkan. Kompensasi terjadi perdebatan antara Kementerian Keuangan dan operator yakni Pertamina," kata Daeng.
Kedua, Peraturan Presiden No. 191 tahun 2014. Menurutnya, Perpres itu harus detail tidak boleh mengambang baik indikator dan siapa yang berhak menerima subsidi. Daeng menegaskan, jika melihat Perpres ini sulit sekali menerjemahkan dan mengawasi kendaraan yang lalu lalang, maka itu Perpres itu harus lebih detail.
"Dan dalam Perpes ada sanksi yang tegas, tidak hanya pada masyarakat, termasuk lembaga yang melakukan pengawasan. Jangan masyarakat yang melanggar saja yang kena sanksi. Perlu dibuat aturan yang tegas dan rigit," kata dia.
Ketiga, institusi pengawasnya seperti BPH Migas yang harus directly diatur dengan Perpres tadi, baik hak dan otoritasnya harus kuat. Kemudian, pengaturan masalah teknis sekali mengenai operatornya karena Pertamina punya pembatasan dan aplikasi hanya salah satu alat mencapai pembatasan tadi.
"MyPertamina hanya tools untuk mendata. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa bila terjadi pelanggaran. Kalau bisa presiden membuat satgasus untuk mengawasi ini. MyPertamina punya data 1 juta, tetapi masih jauh sekali. Kalau targetnya 100 juta ya harus 100 juta yang masuk," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News