Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan penyederhanaan struktur tarif cukai yang dilakukan pemerintah tahun ini dari 10 layer menjadi delapan layer belum efektif. Menurutnya, ketidakefektifan ini bisa dilihat dari angka prevalensi perokok laki-laki dewasa di Indonesia yang merupakan paling tinggi di dunia.
"Delapan layer itu masih sangat banyak dan cenderung tidak efektif karena masih memberikan degree of maneuverability kepada perusahaan rokok untuk menyiasati kenaikan cukai," kata dia dalam webinar dilansir di Jakarta, Senin, 6 Juni 2022.
Faisal juga mempertanyakan batasan golongan produksi sebesar tiga miliar batang. Ia mengungkapkan, batasan produksi sebanyak tiga miliar batang justru memicu perusahaan asing tidak mau naik kelas dengan membatasi produksinya.
"Batasan produksi sampai tiga miliar juga apa urusannya jika dikaitkan dengan kesehatan? Penggolongan harusnya membantu UKM, bukan menolong perusahaan asing sehingga hal ini sudah tidak relevan lagi," ungkapnya.
Ketua umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mengatakan pengendalian konsumsi tembakau menjadi penting agar masyarakat dapat hidup sehat dan produktif. Oleh karena itu, kebijakan cukai hasil tembakau yang tepat dan ideal menjadi kunci dalam mewujudkan tujuan kesehatan masyarakat yang optimal.
Hasbullah menyebut kebijakan kenaikan cukai yang dilakukan tiap tahun di Indonesia tidak efektif dalam menurunkan prevalensi perokok di Indonesia sehingga tujuan pengendalian konsumsi belum tercapai. Indikator keberhasilan cukai adalah prevalensi perokok yang menurun, namun Indonesia menunjukkan sebaliknya.
"Salah satu intervensi paling efektif adalah intervensi harga melalui kebijakan kenaikan cukai dan penyederhanaan struktur tarif cukai. Simplifikasi struktur cukai akan efektif untuk membuat harga rokok tidak murah dan tidak membuat pilihan karena banyaknya golongan pada tiap jenis rokok," lanjut dia.
Urgensi pengendalian konsumsi tembakau melalui penyederhanaan struktur tarif cukai juga disuarakan oleh peneliti CISDI Arya Swarnata. Menurutnya, konsumsi rokok tidak turun secara signifikan karena keterjangkauan rokok di Indonesia masih tinggi dan sistem cukai yang kompleks mengurangi efektivitas cukai.
"Penyederhanaan struktur tarif cukai itu memiliki dampak berganda yakni dapat mengurangi celah penghindaran pajak dari perusahaan rokok, meningkatkan pass through cukai rokok sehingga lebih efektif dalam mempengaruhi harga rokok dan menekan konsumsi rokok," ujar dia.
Analis Kebijakan Badan Kebijakan Fiskal Febri Pangestu mengakui urgensi dari pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia jika dilihat dari sisi prevalensi perokoknya. Hal ini dipicu oleh harga rokok di Indonesia yang relatif murah dan banyaknya loophole dari kebijakan cukai rokok yang berlaku.
Ia menambahkan, struktur tarif cukai rokok di Indonesia masih kompleks karena dibedakan berdasarkan jenis dan jumlah produksi. Padahal idealnya, ketika kebijakan cukai ditujukan untuk pengendalian konsumsi, seharusnya tidak diperlukan lagi pembedaan tarif dari golongan.
"Yang disarankan adalah tarif seragam. Penggolongan juga tidak efektif dan tidak ideal untuk memisahkan pabrikan kecil dan besar. Menurut saya batasan produksi tiga miliar batang untuk menentukan golongan itu masih terlalu besar," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id