Agus mengatakan ada yang perlu diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pemerintah dengan para pelaku usaha. Sebagai latar belakang, ia menyebut pabrik gula rafinasi dibentuk sebelum 2010 untuk mempermudah industri makanan dan minuman mendapatkan bahan baku.
Saat itu, ia mengungkapkan, kebun-kebun belum memadai sementara kebutuhan industri mamin terus bertumbuh. Akhirnya dibentuklah pabrik gula rafinasi yang berjumlah 11 perusahaan. Dari 11 pabrik tersebut saat ini memiliki kapasitas lima juta ton, sayangnya hingga saat ini utilisasi dari perusahaan tersebut belum sepenuhnya.
"Sayangnya, sampai hari ini utilisasi baru 65 persen atau terpakai produksi sekitar tiga juta ton. Jika tidak melakukan demarkasi ini pabrik gula rafinasi tidak akan pernah optimal, begitu pula sebaliknya," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 12 Mei 2021.
Pada suatu masa, pabrik gula rafinasi mengalami kapasitas penuh tentu akan kembali diperlukan perumusan kebijakan baru. Dengan pembukaan investasi baru, akan memenuhi kebutuhan industri makanan minuman yang tumbuh lima persen, bahkan sebelum pandemi mencapai 8,9 persen.
Agus pun menegaskan, setidaknya ada tiga poin utama dari terbitnya Permenperin Nomor 3 Tahun 2021 ini. Pertama, Permenperin ini sebagai upaya penertiban dalam produksi gula pada pabrik gula untuk mengurangi potensi kebocoran atau rembesan gula.
Berdasarkan Keppres 57 Tahun 2004 tentang Penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan, di Indonesia ada dua jenis produk gula yang diproduksi dan diperdagangkan. Pertama Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk industri makanan, minuman dan farmasi. Kedua Gula Kristal Putih (GKP) untuk konsumsi. Penyatuan produksi kedua jenis gula tersebut belum bisa dilakukan.
Kedua, terkait fokus produksi. Dengan adanya peraturan ini, pabrik gula dapat berproduksi sesuai dengan bidang usahanya masing-masing. Pabrik gula rafinasi memproduksi GKR untuk melayani industri makanan, minuman dan farmasi.
Sedangkan pabrik gula berbasis tebu memproduksi GKP untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi sebagai upaya mencapai swasembada gula nasional. Pabrik gula rafinasi tidak boleh memproduksi GKP untuk konsumsi, begitu juga pabrik gula berbasis tebu tidak boleh memproduksi gula industri atau GKR.
"Dengan adanya peraturan ini diharapkan akan ada perbaikan dari sisi pengembangan perkebunan tebu secara nasional sebagai bahan baku gula, yang akan berdampak pada peningkatan produksi gula nasional dan perbaikan pendapatan petani tebu," ungkapnya.
Ketiga, Permenperin ini ditujukan untuk menjamin ketersediaan gula konsumsi atau GKP untuk kebutuhan konsumsi masyarakat dan gula industri atau GKR sebagai bahan baku atau bahan penolong industri makanan, minuman dan farmasi.
Ia menyebut, perhitungan kebutuhan gula konsumsi dan gula industri setiap tahunnya dilakukan melalui rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yang melibatkan seluruh kementerian/lembaga terkait. Dengan ini diharapkan tidak ada kekurangan ketersediaan gula di dalam negeri, baik gula konsumsi maupun gula industri.
"Untuk industri makanan, minuman dan farmasi, termasuk IKM mamin, pabrik gula rafinasi siap menyuplai GKR untuk industri dengan mekanisme yang berlaku, b to b, dan untuk IKM yang tidak dapat langsung membeli ke PGR karena permintaannya dalam jumlah yang kecil dapat membentuk koperasi," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id