Hampir 90% bisnis keluarga secara global, termasuk Indonesia, mengakui bahwa tingkat persaingan pasar semakin ketat, menurut PwC Family Business Survey 2025.
Hampir 90% bisnis keluarga secara global, termasuk Indonesia, mengakui bahwa tingkat persaingan pasar semakin ketat, menurut PwC Family Business Survey 2025.

Survei Paparkan Respons Bisnis Keluarga Indonesia Hadapi ketidakpastian

Arif Wicaksono • 26 November 2025 18:59
Jakarta: Kinerja bisnis keluarga semakin beragam. Hampir 90% bisnis keluarga secara global, termasuk Indonesia, mengakui bahwa tingkat persaingan pasar semakin ketat, menurut PwC Family Business Survey 2025.
 
Survei yang melibatkan 1.325 bisnis keluarga di 62 negara dan teritori, termasuk Indonesia, mengungkapkan bahwa megatren global memberikan dampak signifikan terhadap bisnis keluarga.
 

Volatilitas ekonomi muncul sebagai isu paling mendesak, baik di Indonesia (63%) maupun global (58%) Bagi bisnis keluarga di Indonesia, tantangan perpajakan (49%) menjadi perhatian utama. 
Sebaliknya, secara global, isu utama adalah kekurangan tenaga kerja dan tantangan terkait sumber daya manusia (47%). Menariknya, isu tenaga kerja justru menjadi salah satu perhatian paling rendah bagi bisnis keluarga di Indonesia.
 
Dalam mempersiapkan NextGen, para penerus bisnis keluarga di Indonesia menghadapi tantangan unik: 43% menyebut resistensi dari pemimpin senior sebagai hambatan utama dalam proses transisi kepemimpinan, lebih tinggi dibanding rata-rata global (29%).

Temuan ini sejalan dengan persepsi 39% responden yang melihat transisi kepemimpinan sebagai sebuah risiko, dibandingkan 27% yang menganggapnya sebagai peluang dan 34% yang bersikap netral.
 
Selain itu, survei juga mengungkapkan bahwa 19% bisnis keluarga di Indonesia cenderung menunda proses suksesi karena kondisi ketidakpastian tadi, jauh lebih tinggi dibandingkan angka global (10%).
 
Meskipun demikian, dewan direksi di Indonesia cenderung lebih terbuka terhadap perspektif generasi muda, dengan 55% memiliki pemimpin berusia di bawah 40 tahun, jauh lebih tinggi dari rata-rata global (41%).
 
Keragaman gender dalam kepemimpinan bisnis keluarga di Indonesia juga menunjukkan tren positif, dengan 70% bisnis keluarga di Indonesia melibatkan perempuan di jajaran direksi, dibandingkan angka global (68%).
 
Di tengah volatilitas ekonomi, agility dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan menjadi kunci agar bisnis keluarga dapat berkembang pesat.
 
Ketika ditanya tentang faktor pendukung terpenting bagi bisnis keluarga untuk beradaptasi, survei menunjukkan 54% bisnis keluarga di Indonesia dan global setuju bahwa kepemimpinan yang kuat dan struktur tata kelola yang efektif merupakan kontributor utama yang mendorong kemampuan beradaptasi tersebut.
 
Marcel Irawan, PwC Indonesia Private Leader, menyampaikan dalam edisi ke-12 Global Family Business Survey, kami mewawancarai 1.325 bisnis keluarga secara global, termasuk 67 dari Indonesia. Harapan pertumbuhan bisnis keluarga di Indonesia sejalan dengan kondisi global: era pertumbuhan pendapatan dua digit sudah berlalu.
 
Di Indonesia, 43% menyebut generasi senior sebagai penghambat utama dalam proses suksesi, menandai poin yang perlu diperhatikan.
 
Terdapat sisi positif sekaligus tantangan lain dengan 55% organisasi memiliki pemimpin berusia di bawah 40 tahun yang membawa fresh perspectives, dan 70% melibatkan perempuan dalam jajaran direksi. Namun hanya 25% bisnis keluarga yang menilai diri mereka agile (dibandingkan 45% secara global), dan 60% masih melihat AI sebagai risiko daripada peluang.”
 
Ia menambahkan kondisi ini menantang generasi penerus (NextGen) untuk berani, agile, dan siap menghadapi ketidakpastian. Kesiapan ini membutuhkan persiapan matang, perencanaan suksesi yang terstruktur, serta pendampingan atau coaching.

Bisnis keluarga yang agile 

Bisnis keluarga yang melaporkan tingkat agility lebih tinggi secara signifikan dalam menghadapi perubahan pasar, permintaan pelanggan, dan tantangan operasional sepanjang tahun lalu, lebih memungkinkan untuk mencapai hasil komersial yang kuat.
 
Di Indonesia, 48% bisnis keluarga menilai diri mereka “cukup agile”, sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata global (44%). Di Indonesia, agility ini paling terlihat pada Inovasi produk atau layanan (82%), Kemitraan strategis (71%) dan adopsi teknologi (53%). 
 
Selain agility, tujuan perusahaan yang jelas dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif. Bisnis keluarga di Indonesia yang memiliki kode etik yang terdefinisi (72% vs global 64%) dan nilai-nilai yang telah diformalkan (69% vs global 64%), menunjukkan tingkat keyakinan yang lebih tinggi.
 
Namun, mereka masih tertinggal dari rata-rata global dalam hal memiliki nilai keluarga yang jelas (78% vs 83%), menunjukkan bahwa meskipun kejelasan operasional semakin baik, strategi untuk menyampaikan identitas keluarga masih belum optimal.
 
Di sisi lain, bisnis keluarga yang agile dan purpose-driven tidak sepenuhnya kebal terhadap tekanan internal. Di Indonesia 48% memilih pendekatan perubahan bertahap sambil mempertahankan gaya manajemen yang sudah familiar. Hampir separuh (48%) sesekali mengalami konflik manajemen. 19% mengakui konflik sering diabaikan (dibandingkan global: 7%).
 
Namun ada kekuatan unik sebanyak 51% bisnis keluarga di Indonesia menekankan loyalitas kuat antar anggota keluarga dan hubungan jangka panjang lintas generasi, sedikit lebih tinggi dibandingkan global (48%). Ikatan ini menjadi fondasi penting dalam menghadapi tantangan dan transisi.

Menyeimbangkan kemajuan dan risiko: bisnis keluarga di era AI

Bisnis keluarga semakin memusatkan perhatian pada peluang pertumbuhan baru. Sejalan dengan tren global, bisnis keluarga di Indonesia menempatkan kemajuan teknologi dan transformasi digital sebagai prioritas utama, dengan 55% mengidentifikasinya sebagai area kritis.
 
Secara global, 61% bisnis keluarga telah mengidentifikasi AI sebagai pendorong pertumbuhan utama. Namun di Indonesia, 60% masih memandang AI sebagai risiko, sejajar dengan kekhawatiran terhadap inflasi dan resesi.
 
Integrasi AI dinilai berpotensi mengganggu model bisnis, alur kerja, maupun peran karyawan, sehingga dianggap sebagai ancaman, terutama bagi bisnis keluarga tradisional.
 
Meski demikian, kebijakan yang jelas terkait privasi data, praktik AI yang etis, dan transparansi dapat membantu membangun kepercayaan. Dengan pendekatan bertahap, bisnis keluarga bisa meminimalkan risiko sekaligus memanfaatkan keunggulan AI untuk pertumbuhan jangka panjang.

Membuka peluang pertumbuhan di tengah iklim tak pasti

PwC menyoroti empat area fokus utama bagi bisnis keluarga dengan pertama, memperkuat tujuan bisnis sebagai fondasi utama pertumbuhan, mengoptimalkan structural-agility dengan memanfaatkan pengambilan keputusan terpusat, mengoptimalkan modal jangka panjang  sebagai mesin pertumbuhan di tengah ketidakpastian serta menjaga dan mengoptimalkan reputasi sebagai aset strategis utama.
 
Jonathan Flack, PwC US Global Private Leader, menyatakan meskipun bisnis keluarga dikenal tangguh, tekanan eksternal saat ini membuat transformasi menjadi keharusan.
Sementara itu, Marcel Irawan menegaskan bahwa di tengah iklim ketidakpastian saat ini, bisnis keluarga harus agile, bukan hanya dalam operasional, tetapi juga dalam pola pikir. 
 
“Transformasi tidak selalu berarti perubahan radikal, tetapi keterbukaan terhadap peluang baru, investasi pada kapabilitas digital, dan penyelarasan tujuan dengan value creation jangka panjang. Bisnis yang bertahan adalah bisnis yang dilakukan dengan kejelasan, keberanian, dan komitmen terhadap nilai legacy-nya.” tegas dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(SAW)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan