Di Korsel, Bank of Korea menyebut ketidakpastian signifikan soal tarif menghambat pertumbuhan ekonomi. Di Asia Tenggara, Asian Development Bank memperkirakan pertumbuhan berkurang hingga 0,5% setiap tahun akibat tarif.
"Setiap bisnis kini harus mengambil keputusan dengan mempertimbangkan ketidakpastian sembari mengelola disrupsi pada sepanjang rantai pasok mereka," kata Presiden dan Managing Director SAP untuk wilayah Asia Tenggara Liher Urbizu, dalam keterangannya, Jumat (26/9).
Ia melanjutkan di luar dampak langsung terhadap rantai pasok dan biaya operasional, tarif menimbulkan hidden sustainability costs bagi bisnis suata perusahaan.
Liher mencontohkan sebagian besar perusahaan menghitung biaya karbon berdasar metode berbasis belanja (spend-based) yaitu mengatribusikan emisi sesuai dengan biaya pembelian. Hasilnya, emisi terlihat lebih tinggi dari kenyataan, target dekarbonisasi menjadi lebih berat, dan pembelian kredit karbon (offset) jadi lebih banyak.
"Konsekuensinya, investasi salah arah dalam teknologi dekarbonisasi, mengejar peluang keberlanjutan yang tidak tepat, serta mengantisipasi risiko iklim yang keliru," terangnya.
Menurut Liher, pemimpin perusahaan yang menggunakan data tidak akurat berisiko membeli offset karbon berlebihan dan tidak tahu dengan jelas posisi net zero yang sebenarnya. Bahkan keputusan yang tepat pun bisa tampak salah jika didasarkan pada data yang cacat.
Ia mengatakan alternatif yang lebih akurat adalah perhitungan berbasis aktivitas (activity-based). Metode ini menggunakan data operasional nyata, misalnya kilogram barang yang dibeli atau kilometer perjalanan logistik, lalu dikalikan dengan faktor emisi dari pemasok atau rata-rata industri.
"Keunggulan metode ini, tidak terpengaruh fluktuasi tarif, memberikan hasil perhitungan lebih akurat dan transparan, dan mempercepat langkah dekarbonisasi sambil menekan biaya," kata Liher.
Ia melanjutkan meski tidak diwajibkan secara global, banyak perusahaan multinasional kini sudah mengacu pada regulasi seperti EU Corporate Sustainability Reporting Directive (CSRD) yang menerima kedua metode. "Spend-based bisa dipakai sebagai langkah awal, tetapi pada akhirnya perusahaan membutuhkan pendekatan yang lebih presisi," kata Liher.
Menurut Liher, dengan data tepat dan baik menjadi fondasi keputusan bisnis yang baik untuk pendapatan dan keberlanjutan. Di Indonesia, jelas dia, Kawan Lama Group menunjukkan bahwa ekspansi bisnis yang pesat menuntut sistem digital yang kokoh untuk menjaga visibilitas rantai pasok.
"Transformasi strategis seperti dilakukan Kawan Lama dengan Rise with SAP memperlihatkan digitalisasi bukan hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga jadi prasyarat keberlanjutan jangka panjang," ujar Liher.
Ia melanjutkan dengan memperkuat fondasi digitalnya melalui Rise with SAP, Kawan Lama bisa meningkatkan ketahanan terhadap tantangan seperti kenaikan biaya impor, serta memastikan kelincahan dan efisiensi yang lebih besar dalam menghadapi tekanan terkait tarif.
Menurutnya, tarif berfluktuasi tidak hanya menciptakan ketidakpastian, tapi juga menggelembungkan biaya karbon saat bisnis masih menggunakan metode berbasis belanja.
Beralih ke metode berbasis aktivitas, tidak hanya menyingkap peluang dekarbonisasi yang tersembunyi, tetapi juga melindungi perusahaan dari inflasi karbon akibat tarif.
"Peluang besar bagi setiap bisnis adalah memanfaatkan data internal untuk menjadikan keberlanjutan sebagai sumber profitabilitas, dan juga profitabilitas sebagai penggerak keberlanjutan," pungkas Liher.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id