Sebab, harga yang ditetapkan Pertamina saat ini berada di bawah rata-rata harga dunia. Hal ini akan berdampak buruk bagi keuangan BUMN tersebut.
"Harga pertalite harus dinaikkan. Apalagi harga jual BBM Pertamina masih berada di bawah harga BBM milik asing. Jika tidak, akan berdampak buruk karena memukul keuangan Pertamina," katanya dalam keterangan resminya, Kamis, 28 Oktober 2021.
Menurutnya, Pertamina menelan rugi dari setiap liter pertalite yang dijual ke masyarakat lantaran biaya produksi sangat tinggi. Sementara harga jual berada di bawah harga keekonomian dengan selisih sangat besar, sekitar Rp3 ribu per liter.
Hal itu terjadi karena harga sekarang masih dihitung dengan menggunakan ICP sekitar USD45. Sedangkan di sisi lain, harga minyak dunia terus naik, bahkan tergolong tertinggi, dengan dua kali melampaui harga ICP.
"Keuangan mereka akan tergerus untuk menutupi kerugian-kerugian yang terjadi akibat penjualan BBM yang tidak sesuai dengan harga keekonomian," ujar Ferdinand.
Jika sudah mengalami kerugian, Pertamina akan sulit menutupi biaya operasional yang pada akhirnya akan menjadi beban bagi pemerintah.
"Jadi saya pikir harus dipertimbangkan untuk menaikan harga BBM, apakah sesuai harga keekonomian atau setidaknya mendekati. Tetapi momennya juga harus tepat," ujarnya.
Selain pertalite, semua jenis BBM seperti solar, pertamax, dan pertamax turbo yang dipasarkan Pertamina pun sebenarnya masih di bawah harga sepatutnya. Padahal harga minyak dunia terus mengalami kenaikan.
Sebelumnya, Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM, Soerjaningsih menyatakan bahwa Pertamina menanggung kerugian Rp3.350 ribu per liter terhadap penjualan pertalite.
Hal itu karena harga keekonomian pertalite (RON 90) sebenarnya sudah berada di atas Rp11 ribu per liter, sementara Pertamina masih menjual jauh di bawah harga tersebut, yaitu Rp7.650 per liter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News