"Algoritma TikTok dikritik oleh beragam pemerintah di negara tempat TikTok beroperasi karena memungkinkan platform menggunakan data pribadi tanpa persetujuan pengguna," kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, melalui keterangan tertulis, Jumat, 23 Juni 2023.
Menurut dia, algoritma TikTok itu berisiko digunakan untuk mendorong penjualan barang impor asal Tiongkok. Jika situasi ini dibiarkan, penjual yang menjual barang impor semakin populer. "Imbas lainnya tentu pada neraca dagang dan keluarnya devisa," ujar dia.
Di sisi lain, Bhima meminta pemerintah berhati-hati dengan TikTok. Meski nilai investasinya besar, perusahaan besutan Tiongkok itu tengah agresif masuk ke ranah jual beli barang online.
"Sementara pengawasan dan aturan soal social commerce di Indonesia masih abu-abu," kata dia.
Jangan sampai, kata Bhima, hal tersebut menjadi lobi TikTok untuk Pemerintah Indonesia. Terlebih, Bhima menilai aturan perpajakan social commerce masih banyak yang belum adil.
Termasuk pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen, padahal transaksi ecommerce melalui platform resmi dikenakan pajak," kata Bhima.
Baca juga: Trending Tagar #TikTokTipuIndonesia, Pemerintah Didorong Tegakkan Aturan |
Koleksi data produk yang sedang tren
Adapun Financial Times mengulas soal Project S yang tengah digencarkan TikTok. Pengguna di United Kingdom bakal menemukan fitur 'Trendy Beat' yang mengoleksi data produk yang sedang ngetren.
Data tersebut diramalkan bakal menjadi komoditas bagi Tiongkok untuk memproduksi massal produk yang sedang ngetren. Kemudian menjualnya dengan harga miring.
Di negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat, serbuan produk murah yang diimpor dari Tiongkok tak begitu berpengaruh, karena perekonomian negara tidak begitu bergantung pada industri kecil.
Namun, kondisi tersebut bakal berbeda jika mendampak Indonesia. Sebab, perekonomiannya mayoritas ditopang oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News