Ilustrasi eksplorasi proyek hulu migas - - Foto: dok Pertamina
Ilustrasi eksplorasi proyek hulu migas - - Foto: dok Pertamina

Tekanan Industri Migas Makin Kuat, Paket Insentif untuk Investor Harus Menarik

Suci Sedya Utami • 28 Agustus 2021 16:00
Jakarta: Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) mengalami tekanan yang semakin kuat seiring belum berakhirnya pandemi covid-19. Tekanan tersebut merupakan tantangan yang mesti dihadapi dengan memberikan berbagai paket insentif yang menarik bagi investor.
 
Deputi Perencanaan SKK Migas Benny Lubiantara mengatakan saat ini alokasi investasi perusahaan minyak dunia semakin terbatas sehubungan dengan perhatian pada energi baru terbarukan.
 
Selain itu, tambahan biaya operasional untuk mengakomodasi proyek low carbon, serta target internal rate of return (IRR) yang semakin tinggi di masa mendatang bersaing dengan energi baru terbarukan yang umumnya mendapatkan berbagai macam insentif.
 
Aspek komersial akan menjadi hal yang paling berpengaruh dibandingkan ketersediaan potensi migas, terlebih adanya energi transisi. Maka dari itu menurut dirinya, untuk menggaet investasi yang semakin terbatas itu, pemberian insentif yang menarik menjadi salah satu kuncinya.

"Ini adalah kesempatan untuk segera melakukan monetisasi atas potensi migas dengan memberikan paket insentif yang menarik bagi investor," kata Benny dalam keterangan resmi, Sabtu, 28 Agustus 2021.
 
Apalagi Indonesia memiliki target ambisius untuk meningkatkan produksi minyak menjadi satu juta barel per hari (bph) dan gas 12 triliun standar kaki kubik per hari (tscfd) di 2030.
 
Ia bilang dari sisi sistem kontrak, Indonesia pada awalnya sejak 1966 menggunakan skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) cost recovery. PSC di Indonesia terus berkembang seiring perubahan regulasi dan perkembangan zaman sehingga PSC cost recovery terus mengalami perubahan. Kemudian di 2017, PSC bertambah dengan adanya sistem gross split.
 
“Bagi investor ketika ditanyakan PSC apa yang diminati apakah cost recovery atau gross split, jawabannya adalah sistem mana yang memberikan keuntungan dalam investasinya, mana yang memberikan IRR yang paling baik. Sehingga di mata investor baik cost recovery atau gross split adalah pilihan semata, mana yang paling mendukung target investasi mereka. Negara mana yang menawarkan insentif fiskal yang menarik akan lebih diminati oleh investor,” tambah Benny.
 
Sementara itu, Vice President SKK Migas A. Rinto Pudyantoro mengatakan sistem kontrak hulu migas di Indonesia terus mengikuti dan beradaptasi terhadap zaman. Sehingga posisi cost recovery ataupun gross split saat ini merupakan pilihan. Dalam implementasinya masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya.
 
“Permen ESDM Nomor 12/2020 senafas dengan UU 22/2001 yang mengamanatkan model kerjasama dengan pola atau mekanisme boleh apa saja yang penting mengoptimalkan kepentingan negara. Jadi model apapun yang ditawarkan sudah dijaga kepentingan negara dan sudah dihitung konsekuensinya," kata Rinto.
 
Di sisi lain, lanjut Rinto, investor diberikan kesempatan untuk lifting dengan risiko menurut persepsi mereka, kultur perusahaan dan karakteristik perusahaan. Jadi sebagai salah satu faktor penentu untuk menarik investor, maka dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan bagi negara.
 
“Bagi kontraktor memilih model dan pola (PSC) yang paling menguntungkan secara bisnis akan dipengaruhi oleh cara pandang dan persepsi perusahaan terhadap peluang dan risiko bisnis (teknis dan nonteknis) dan ekspektasi terhadap pelaksanaan kontrak," pungkas Rinto.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(Des)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan