Dari data yang ada, subsidi LPG ini hanya dinikmati masyarakat miskin sekitar 24 persen dari total penyaluran. Sementara sisanya, sebesar 76 persen justru masuk ke kantong orang kaya, para pejabat pemerintah, dan anggota DPR. Adapun masyarakat miskin dan rentan yang masuk dalam kelompok 40 persen hanya menikmati 26 persen dari subsidi listrik.
"Begitu pula dengan LPG tiga kg, sebanyak 30 persen rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah hanya menikmati 24 persen dari subsidi LPG tiga kg. Sementara 76 persen dinikmati oleh kelompok yang lebih mampu," jelas Said, dalam keterangan resminya, Senin, 1 Juni 2021.
Padahal, terang Said, konstitusi telah mengamanatkan bahwa penyaluran subsidi seharusnya bersifat tertutup (by name by address). Hal ini yang menurut Said harus diperbaiki pada 2022. Menurutnya perbaikan diperlukan agar bisa memberikan rasa keadilan dan melindungi masyarakat miskin dan rentan yang berhak menerima subsidi.
"Saya melihat, kebijakan manajemen pengelolaan subsidi yang digunakan selama ini masih memiliki kelemahan yang mendasar, mulai dari validitas data, pengendalian harga hingga volume," terangnya.
Bahkanm lanjutnya, masih terdapat exclusion error dan inclusion error dalam realisasi pemberian subsidi. Indikasinya masih banyak ditemukan pihak yang seharusnya berhak menerima subsidi tetapi tidak menerima. "Sedangkan pihak yang seharusnya tidak berhak menerima, tetapi ikut menerima subsidi," tegasnya.
Lebih lanjut, dirinya juga meminta pemerintah melakukan perbaikan yang signifikan terhadap kebijakan sektor minyak dan gas (migas), baik dari sisi produksi (lifting) maupun penerimaan. Hal ini krusial sehingga mampu meningkatkan pendapatan negara dari sektor migas pada 2022.
Apalagi, produksi migas Indonesia terus mengalami tren penurunan yang berkelanjutan dalam dua dekade terakhir. Dampak lanjutannya, penerimaan sektor migas mengalami kontraksi dalam tiga tahun terakhir. Kondisi itu tercermin dari pendapatan perpajakan (PPh) migas dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas yang semakin menurun.
Selain itu, ujar Said, penentuan skema gross split atau cost recovery yang sudah mengalami tiga kali perubahan juga menjadi persoalan di sektor migas. Perubahan ini menunjukkan, skema yang ditawarkan oleh pemerintah, baik dalam bentuk cost recovery maupun gross split memiliki titik lemah baik bagi pemerintah maupun investor itu sendiri.
"Saya juga berharap persoalan klasik yang selalu muncul antara lain sumur dan fasilitas produksi migas yang menua, aktivitas eksplorasi baru yang belum memadai, peralatan teknologi yang sudah ketinggalan, hingga persoalan kebijakan dan kompleksitas birokrasi yang masih kurang efisien, bisa kita temukan solusinya," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News