Ilustrasi petani tembakau. Foto: dok MI/Tosiani.
Ilustrasi petani tembakau. Foto: dok MI/Tosiani.

Simplifikasi Cukai Dikhawatirkan Picu Persaingan Usaha Tidak Sehat

Husen Miftahudin • 05 Oktober 2021 12:05
Jakarta: Peneliti senior Universitas Padjadjaran (Unpad) Bayu Kharisma mengkhawatirkan jika simplifikasi tarif cukai diterapkan, maka akan terjadi persaingan usaha tidak sehat. Sebab, perusahaan rokok legal yang kecil akan mengalami kesulitan bersaing dengan perusahaan rokok besar.
 
Menurut Bayu, jumlah 10 layer tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang ada saat ini sudah moderat, yaitu Sigaret Kretek Mesin (SKM) dengan tiga layer, Sigaret Putih Mesin (SPM) dengan tiga layer, dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan (SPT) dengan empat layer.
 
"Semakin berkurangnya penjualan rokok dan banyak perusahaan khususnya pabrikan rokok kecil yang legal akan gulung tikar terutama posisi SKT yang kehilangan pangsa pasarnya, juga dikhawatirkan memperburuk tingkat pengangguran," ujar Bayu dalam keterangan resminya, Selasa, 5 Oktober 2021.

Lebih jauh ia menjelaskan volume produksi rokok perusahaan yang terkena dampak simplifikasi (golongan II layer 1 dan 2) akan mengalami penurunan produksi bahkan penutupan pabrik. Kondisi ini juga berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran.
 
Bayu juga mewanti-wanti dampak simplifikasi tarif cukai dari sisi tax avoidance dapat mengurangi peluang tax avoidance, akan tetapi dapat memperbesar peluang tax evasion. "Jika direalisasikan, kebijakan ini akan berpotensi merugikan bagi pendapatan pajak negara," ketusnya.
 
Sementara bagi perusahaan golongan II layer 1 dan 2, untuk mempertahankan margin keuntungan yang sama, simplifikasi karena tarif cukai lebih tinggi harus menaikkan volume produksinya. Penjualannya pun harus beberapa kali lipat dari sebelum simplifikasi diberlakukan. Hal itu kontraproduktif dengan tujuan cukai, yakni pengendalian konsumsi rokok.
 
Masalah lain yang berpotensi timbul akibat simplifikasi adalah terbentuknya pasar rokok ilegal. Karena, konsumen akan beralih ke rokok murah yang tidak membayar cukai dan pajak lainnya.
 
"Preferensi konsumen akan beralih ke rokok lain yang lebih murah (rokok ilegal) yang justru akan merugikan negara," ujarnya.
 
Oleh karena itu, ia memberikan dua rekomendasi untuk pemerintah agar tidak menjalankan kebijakan simplifikasi tarif cukai. Pertama, dari sisi penerimaan negara, wacana simplifikasi karena berpotensi secara negatif menurunkan penerimaan negara.
 
"Kebijakan simplifikasi perlu dikaji secara matang dan hati-hati bahkan tidak perlu dilakukan dengan tetap mempertahankan kebijakan struktur tarif cukai yang ada," terangnya.
 
Kedua, dari sisi persaingan usaha. Wacana simplifikasi berpotensi akan mendorong ke arah monopoli, dan akan menyebabkan rokok ilegal semakin marak.
 
"Kebijakan cukai dan struktur tarif cukai yang ada saat ini perlu dipertahankan sebagai bagian keberpihakan pemerintah pada industri rokok secara nasional (bukan pada perusahaan rokok golongan 1 saja)," tutur Bayu.
 
Sementara itu, Anggota Baleg Firman Soebagyo mengingatkan pemerintah terkait rencana simplifikasi cukai dan penggabungan batasan produksi SKM dan SPM. Pasalnya, simplifikasi cukai akan menciptakan persaingan tidak sehat yang mengarah oligopoli bahkan monopoli.
 
"Jangan sampai menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat melalui praktek oligopoli bahkan monopoli. Pemerintah harus ada iktikad baik (good will) melestarikan ciri khas hasil tembakau Indonesia yakni kretek," pungkas dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan