Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Maritim dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan arahan itu disampaikan Luhut kepada jajarannya agar industri OMAI bisa berkembang.
"Minggu lalu saya sudah lapor ke Pak Menko (Luhut). Pak Menko beri arahan ini biarkan dulu saja masuk, jadi biar diberi kesempatan untuk produsen fitofarmaka masuk ke JKN, lalu mereka berjuang sendiri untuk marketing obatnya ke dokter, dan rumah sakit. Ini penting, istilahnya level playing field-nya sama," jelasnya, dilansir dari Antara, Selasa, 22 Desember 2020.
Seto menjelaskan fitofarmaka merupakan obat dari bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik. Karena diuji hampir setara dengan obat kimia, maka produk fitofarmaka seharusnya bisa berkompetisi dengan obat-obatan kimia.
Seto menyampaikan apresiasi langkah Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang telah lebih dulu menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN Produk Farmasi.
Dengan aturan TKDN produk farmasi yang baru, Kemenperin dinilai telah mendorong kemandirian industri obat nasional dengan bahan baku herbal dari dalam negeri.
"Kita harus kompak memasukkan TKDN sebagai komponen utama, dan menjadikan obat-obatan produksi dalam negeri jadi prioritas. Namun, kita juga ingin pemain farmasi domestik bisa memberikan harga obat yang kompetitif. Jangan karena sudah diakomodir masuk dalam TKDN, lalu harganya dibuat tinggi," tegas Seto.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi menyatakan untuk bisa masuk dalam daftar obat JKN, maka instansinya perlu memastikan persoalan mutu, manfaat obat, kualitas, serta faktor keamanan dari OMAI yang diusulkan.
"Bukan tidak mungkin dilakukan perubahan sesuai perkembangan selama itu berpihak pada kepentingan publik. Karena ini kan demi kesehatan masyarakat," ujar Oscar.
Kemenkes juga siap merevisi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 54 Tahun 2018 tentang Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Selama ini, beleid tersebut dinilai menghambat pengembangan dan pemanfaatan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) karena obat-obatan berbahan dasar herbal tidak masuk dalam daftar obat rujukan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bisa dibayar oleh BPJS Kesehatan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin, Muhammad Khayam menjelaskan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020, ada perubahan penghitungan TKDN produk farmasi yang mempermudah produsen OMAI di dalam negeri.
"Sesuai aturan baru, menghitung TKDN obat tidak lagi memakai metode cost based, melainkan dengan metode processed based," pungkas Khayam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News