Ketua Umum Bidang Perbankan dan Keuangan BPP Hipmi Anggawira mengatakan tantangan sektor investasi baja nasional harus dihadapi dengan serius. Hipmi menyayangkan membanjirnya produk baja impor, karena akan merusak tatanan pasar di Indonesia dan berdampak negatif terhadap iklim investasi karena menjadi tidak menarik.
"Kalau investasi mandek akan menghambat implementasi pembangunan klaster industri baja 10 juta ton Cilegon yang telah dicanangkan pemerintah dan ditargetkan selesai di 2025," ujar Anggawira dalam keterangan resminya, Minggu, 6 Februari 2022.
Lebih jauh, Anggawira mengemukakan, investasi industri baja yang telah ditanamkan investor baik PMDN maupun PMA hingga saat ini telah mencapai USD15,2 miliar atau setara Rp215 triliun. Angka tersebut merupakan nilai investasi yang besar.
"Namun sangat disayangkan bahwa impor baja juga tidak dijaga dengan baik, sehingga jangankan mencari keuntungan atas investasi tersebut, untuk return atau balik modal saja tentu akan sulit," urainya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Perindustrian Bobby Gafur Umar menyampaikan kondisi menyedihkan, yaitu utilisasi produsen baja nasional yang saat ini rata-rata baru mencapai 40 persen, padahal idealnya 80 persen.
Menurutnya, angka ini tidak terlalu baik dibandingkan industri lain seperti pada industri keramik. Dengan tingkat utilisasi yang hanya 40 persen, sebutnya, investor di industri baja tentu akan berpikir berkali-kali.
"Hal lainnya serangan impor juga dilakukan dengan berbagai macam cara oleh para trader. Oleh karenanya Kadin berharap agar pemerintah secara konsisten menerapkan peraturan yang ada, khususnya untuk mengendalikan impor dan menjaga investasi yang sudah ditanamkan," ungkap Bobby.
Senada, Ketua Cluster Flat Product Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional/The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Melati Sarnita mengakui bahwa industri baja sampai saat ini masih dihadapkan pada permasalahan utama, yaitu impor baja yang masih tinggi.
Permasalahan yang terjadi dari peningkatan impor tersebut karena mengisi pangsa pasar yang diisi oleh produk baja dalam negeri, sehingga menurunkan tingkat utilisasi industri baja dalam negeri yang saat ini masih rendah, yaitu rata-rata hanya 40 persen.
"Di samping itu, impor baja yang masuk ke pasar dalam negeri diindikasi banyak yang dilakukan dengan cara unfair trade seperti dumping dan circumvention (pengalihan pos tarif)," jelas Melati.
Ia juga menyampaikan, praktik impor baja telah mengganggu kestabilan industri baja dalam negeri serta upaya yang sudah dilakukan untuk mengantisipasinya. Sebab, kecenderungan impor yang masuk masih dilakukan secara unfair trade, baik dengan harga dumping (predatory pricing) maupun adanya praktik pengalihan kode HS dari baja karbon ke baja paduan.
"Pengajuan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atau Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) baik yang perpanjangan maupun yang baru sudah kita sampaikan, besar harapan kami pemerintah bisa memberlakukan kebijakan trade remedies seperti yang negara-negara lain sudah lakukan," tutup Melati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News