Selain bertujuan mendapatkan manfaat ekonomi, penerapan ekonomi hijau dilakukan untuk merealisasikan komitmen Indonesia dalam target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada national determined contribution (NDC) yang menggunakan kemampuan sendiri sebesar 31,89 persen dan dengan dukungan internasional sebesar 43,20 persen.
Demikian yang disampaikan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso dalam International Seminar Leveraging Performance Audit Impact Towards Green Economy yang dikutip pada Jumat, 9 Juni 2023.
"Mempromosikan ekonomi hijau sebagai sumber baru pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di masa depan merupakan suatu keharusan untuk kebaikan global. Selain itu, kita harus berfokus untuk merangkul setiap peluang guna mencapai transisi yang adil dan terjangkau," tuturnya.
Komitmen pemerintah juga diwujudkan dalam berbagai upaya memperkuat kolaborasi sektor swasta, mendorong pembiayaan inovatif dengan membentuk Sovereign Wealth Fund, melakukan penetapan Undang-Undang Cipta Kerja dengan tetap memperhatikan dimensi lingkungan, serta berkontribusi dalam just energy transition partnership (JETP) dengan meluncurkan rencana investasi komprehensif sebesar USD20 miliar.
Selain itu, guna mempromosikan transisi hijau dari sisi permintaan, pemerintah memberikan insentif untuk mempercepat sektor bisnis energi terbarukan dan ramah lingkungan, seperti pembebasan pajak dan tunjangan, pembebasan bea masuk, pengurangan PPN dan pajak barang mewah, penetapan tarif pajak berdasarkan emisi CO2 dan konsumsi bahan bakar, serta insentif untuk pembelian kendaraan listrik.
Di samping berbagai kebijakan tersebut, strategi pengelolaan fiskal yang optimal juga perlu menjadi fokus pemerintah untuk memobilisasi pencapaian pembangunan berkelanjutan.
Salah satu cara yang ditempuh dan tengah berjalan dalam agenda transisi energi ialah melalui sektor energi ketenagalistrikan. Pengambil kebijakan sebelumnya sempat mengungkapkan bakal memensiunkan PLTU batu bara lebih dini untuk menekan emisi dan mencapai target karbon netral pada 2060.
Namun, upaya itu tak mudah lantaran dibutuhkan pembiayaan yang cukup besar untuk memberikan kompensasi kepada PLTU yang dipensiunkan secara dini. Sejalan dengan itu, sedianya pemerintah juga telah menerapkan perdagangan karbon bagi PLTU batu bara di Indonesia.
Transisi ketenagalistrikan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan instrumen perdagangan karbon yang diatur pemerintah diterapkan secara bertahap. Pada tahapan pertama, pengambil kebijakan menyasar sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara untuk terlibat dalam instrumen perdagangan karbon (emission trading system/ETS) sesuai dengan yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM 16/2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik.
Tahun ini diperkirakan sebanyak 99 PLTU berbasis batu bara bakal ikut serta dalam mekanisme perdagangan karbon. Itu setara 86 persen PLTU batu bara yang ada di Indonesia dengan kapasitas listrik sebesar 33.565 megawatt (Mw).
"Ini adalah kemajuan karena berarti para PLTU ini menyadari mereka menghasilkan energi yang dibutuhkan ekonomi dan masyarakat, tetapi mereka juga menghasilkan CO2 yang memperburuk kondisi emisi. Ini adalah mandatory carbon trading melalui ETS yang sudah ditetapkan pemerintah," ujar Sri Mulyani dalam webinar Green Economy Forum 2023 berjudul Realizing Sustainable Growth through Green Economy Commitment, Selasa, 6 Juni 2023.
Perdagangan karbon tersebut dilaksanakan secara langsung antara PLTU dan ketetapan mandatory CO2 yang diperbolehkan. Mereka, kata Sri Mulyani, melakukan transaksi dengan menggunakan aplikasi penghitungan dan pelaporan emisi ketenagalistrikan atau Apple Gatrik.
Dus, transaksi tersebut belum melalui bursa karbon yang akan diluncurkan nantinya oleh pemerintah di pasar modal. Dengan kata lain, saat ini transaksi tersebut masih bersifat tertutup di antara PLTU.
Pengenalan ETS dituangkan melalui Peraturan Presiden 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. ETS merupakan salah satu instrumen perdagangan karbon yang dikenalkan selain mekanisme offsetting.
Instrumen kedua ialah melalui jalur nonperdagangan karbon. Dari instrumen tersebut, pemerintah menetapkan dua mekanisme yang bakal digunakan, yaitu result based payment (RBP) dan pajak karbon. Mekanisme RBP meliputi pemberian kompensasi atas penurunan emisi karbon yang dihasilkan.
Sementara itu, mekanisme pajak karbon telah dituangkan dan diamanatkan dalam Undang-Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pengambil kebijakan telah menetapkan pajak minimum sebesar Rp30 untuk setiap kilogram CO2 ekuivalen.
"Ini akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Artinya, dampak positifnya kita inginkan, tetapi dampak negatif dari setiap instrumen juga diperhatikan sehingga perekonomian Indonesia mampu terus berlanjut dari sisi pertumbuhan, stabilitas, juga mampu melakukan transformasi," tutur Sri Mulyani.
Perlu transparan
Peneliti Kebijakan Iklim dan Perdagangan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Novia Xu menilai transparansi merupakan kunci utama dari eksekusi transisi energi yang dijalankan pemerintah. Itu disebabkan asas keterbukaan tersebut akan mendorong transisi energi yang memenuhi aspek keadilan dan terjangkau.
"Kalau dari pemerintah belum bisa memenuhi transparan ini, aspek keadilan dan keterjangkauan itu akan sangat sulit untuk dicapai," ujarnya saat dihubungi, Sabtu, 10 Juni 2023.
Berkaitan dengan aspek keadilan pula, pengambil kebijakan didorong untuk mampu menghasilkan solusi transisi energi yang seimbang bagi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Novia menilai sejauh ini keseimbangan tersebut belum dapat terpenuhi.
Salah satunya terlihat dari pemanfaatan energi campuran yang nyatanya masih menghasilkan emisi gas rumah kaca. Dia tak menampik emisi yang dihasilkan memang lebih rendah dari penggunaan energi fosil. Namun, menurutnya, itu merupakan salah satu cara untuk memperpanjang penggunaan energi yang tak ramah lingkungan.
"Ada co-firing, gasifikasi, itu false solution, dari sisi climate itu tetap ada gas rumah kacanya, memang lebih rendah dari fossil fuel, itu bagi kami adalah salah satu cara memperpanjang masa penggunaan batu bara. Alasan dari pemerintah memang adalah untuk menjaga keterjangkauan transisi energi. Jadi, memang harus dicari balance antara sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam hal ini," jelasnya.
Lebih lanjut, Novia mengatakan selain mengandalkan skema carbon pricing, upaya untuk beralih ke energi yang lebih hijau dapat dilakukan melalui skema kerja sama internasional.
Cara itu disebut perlu dan penting lantaran Indonesia memiliki kapasitas terbatas dari sisi pembiayaan dan teknologi. Karenanya, wadah seperti JETP yang diluncurkan pada G-20 tahun lalu bakal berperan besar dalam upaya transisi energi di Tanah Air.
"Ini menarik untuk dilihat perkembangannya. Nanti akan terlihat secara teknis seperti apa, financing seperti apa, policy reform seperti apa, itu akan terlihat. Ini jadi salah satu yang paling kita tunggu," pungkas Novia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News