Sebut saja rencana penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, iuran BPJS Kesehatan yang berpotensi naik pada Juli 2025, biaya pendidikan terutama uang kuliah tunggal di PTN yang sangat mungkin bakal naik tahun depan, plus rencana pemotongan gaji pekerja untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) mulai 2027 nanti.
Akan tetapi, pemerintah tampaknya berkuping tebal perihal situasi masyarakat menengah ke bawah yang tertekan imbas tingginya biaya hidup tersebut. Alih-alih ada peningkatan pendapatan dan kemampuan daya beli, kelompok itu justru menjadi rentan tersungkur.

Kenaikan harga pangan sudah menguras dompet masyarakat. Foto: dok MI/Andri Widiyanto.
Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno mengungkapkan pemerintah sebetulnya telah berulang kali dicecar mengenai situasi yang dihadapi masyarakat menengah bawah itu. Namun, tampaknya belum ada upaya berarti yang menghasilkan titik terang dari persoalan tersebut.
"Secara umum dinyatakan inflasi 2023 hanya 2,62 persen, terendah dalam 20 tahun terakhir. Tetapi khusus pangan, naiknya tajam dan betul-betul menggerus daya beli masyarakat," ujar Hendrawan saat dihubungi, kemarin, dilansir Media Indonesia.
Saat ini, imbuhnya, pos pengeluaran masyarakat tengah membengkak. Apalagi jika nanti biaya-biaya lain menyusul naik. "Jadi, jika PPN dan berbagai harga yang dikendalikan pemerintah seperti BBM dan listrik dinaikkan, bisa dipastikan kelas menengah bawah akan terpukul berat."
Baca juga: Dibanding Tapera, Sandiaga: Healing Lebih Penting bagi Gen Z |
Secara terpisah, Ketua MPR Bambang Soesatyo meminta pemerintah berhati-hati ketika mengeluarkan suatu kebijakan yang langsung bersinggungan dengan penghasilan atau akan berefek pada daya beli masyarakat. Ketika menyasar ke masyarakat, kata dia, sosialisasi mesti diutamakan.
"Harus ada yang menyampaikan dengan baik, sosialisasikan karena ini menyangkut kepentingan masyarakat luas," kata Bambang.
Akan tetapi, menurutnya, yang lebih utama untuk dilakukan saat ini ialah meningkatkan daya beli masyarakat.
Baca juga: Kelas Menengah Masih Resah |
Kelas menengah terabaikan
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono juga menyebut kecenderungan kian lemahnya daya beli masyarakat terutama kelas menengah dan kelas bawah mengkhawatirkan. Namun, kata dia, kebijakan mendorong daya beli masyarakat selama ini hanya terfokus pada kebijakan bansos yang fokus pada masyarakat kelas bawah.
"Sedangkan kelas menengah selama ini cenderung terabaikan, secara sederhana karena besarnya jumlah kelas menengah di satu sisi dan keterbatasan APBN di sisi lain," terang Yusuf.
Menurutnya, respons kebijakan yang harus ditempuh untuk memperbaiki kondisi itu jelas, yakni memperkuat kebijakan redistribusi pendapatan, baik melalui kebijakan fiskal maupun kebijakan upah minimum.
Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan rendahnya daya beli masyarakat kelas menengah bawah merefleksikan kenaikan pendapatan yang tak sebanding. Mayoritas kenaikan pendapatan pada tahun lalu belum mampu mengimbangi peningkatan pengeluaran di tahun ini. Daya beli berpotensi makin melemah jika masyarakat kembali dihadapkan pada kenaikan-kenaikan harga lain, seperti tarif listrik, tarif PPN, biaya kuliah, serta pemotongan upah untuk Tapera.

Ilustrasi sektor padat karya. Foto: dok MI.
Ia menyebut tak ada solusi instan untuk mendongkrak daya beli masyarakat itu. "Perlu ada solusi permanen, misalnya dengan mendorong investasi via berbagai insentif dan kemudahan berusaha, terutama pada sektor padat karya," tutur David.
Saat dimintai konfirmasi terkait dengan potensi biaya-biaya tinggi yang diwariskan pemerintahan saat ini yang akan kian menyulitkan hidup masyarakat, Deputi III Bidang Perekonomian Kantor Staf Presiden (KSP) Edy Proyono tak mau berkomentar.
"Maaf, untuk saat ini tidak ada tanggapan," kata dia menjawab pertanyaan Media Indonesia melalui pesan Whatsapp, kemarin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News