Maka wajar saja berbagai spekulasi muncul mengenai dana umat yang kini mengendap hingga Rp150 triliun tersebut. Ada yang menyebut dana haji dipakai untuk membayar tunggakan akomodasi di Arab Saudi, bahkan diinvestasikan untuk pembangunan infrastruktur.
Adapula narasi yang menyebutkan pemerintah tidak berani mengaudit dana haji karena uang jemaah yang terkumpul sudah habis.
Informasi yang simpang siur ini berimbas pada ratusan jemaah atau sekitar 0,3 persen dari 196.865 jemaah Indonesia yang sudah melunasi pembayaran, menarik dana mereka.
Padahal jika ini dilakukan, maka calon jemaah haji yang sudah mendaftar akan kehilangan antreannya. Mereka pun harus kembali ke proses awal.
Langkah yang tergesa-gesa ini tak hanya merugikan calon jemaah haji tetapi juga menimbulkan krisis kepercayaan kepada pemerintah. Sebab, pengelolaan dana haji menjadi salah satu aspek penting dan krusial dari penyelenggaraan ibadah haji.
Belum lagi menilik audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2015, di mana pengelolaan dana haji defisit Rp414 miliar dibandingkan tahun sebelumnya yang surplus Rp145 miliar.
Lantas bagaimana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dapat menjaga marwah pengelolaan dana haji dalam negeri?
Untuk diketahui, jumlah jemaah haji yang besar dan memiliki masa tunggu hingga belasan tahun ini tentu menyebabkan akumulasi dana haji membengkak. Sebagai contoh setoran awal haji dipatok Rp25 juta per jemaah. Jika dikalikan dengan total jemaah haji yang sebesar 200 ribu per tahun, maka total dana haji yang mengendap menjadi Rp5 triliun per tahun.
Meski dana tersebut besar, hampir separuh dari biaya pemberangkatan haji masih disubsidi oleh BPKH. Rata-rata biaya pemberangkatan haji sebesar Rp70 juta per orang, sedangkan jemaah hanya membayar sebesar Rp35 juta saja.
Tentu selisih tersebut harus ditombok dengan menempatkan dana haji yang mencapai ratusan triliun itu ke investasi yang aman dan sesuai prinsip syariah.
Adapun investasi syariah yang dimaksud adalah investasi dengan instrumen yang menerapkan prinsip-prinsip syariah. Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, serta penempatan dana umat ini juga harus mendapatkan sertifikasi dari Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.
Sejumlah instrumen investasi syariah yang ada di Indonesia antara lain deposito syariah yakni, menggunakan akad mudharabah (bagi hasil) antara nasabah dan bank syariah.
Kemudian ada saham syariah dengan menempatkan dana di saham perusahaan yang tidak melakukan sejumlah kegiatan usaha seperti perjudian, perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang/jasa, bank berbasis bunga, memproduksi atau menjual barang atau jasa yang haram zatnya dan sebagainya.
Selanjutnya sukuk, dikelola dengan prinsip syariah yang tidak mengandung unsur maysir (judi), gharar (ketidakjelasan), dan riba (usury). Risiko sukuk ini relatif rendah karena pembayaran pokok dan imbalannya dijamin oleh undang-undang.
Dari berbagai instrumen investasi syariah ini, dana haji di Indonesia diendapkan sekitar 50 persen di bank syariah, 30 persennya diputarkan di surat berharga, dan 20 persen diinvestasikan ke dalam bentuk sukuk alias surat utang negara.
Dari investasi tersebut, BPKH sudah meraup surplus lebih dari Rp5 triliun dan dana kelolaan juga tumbuh lebih dari 15 persen.
Untuk memastikan keamanan dari sisi gagal bayar, dana haji yang ditempatkan di Bank Syariah pun telah dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kepastian ini tertuang dalam Surat LPS nomor S-001/DK01/15 Januari 2020.
Audit BPK
Bagian selanjutnya dalam memastikan akuntabilitas, transparansi dan mendorong kepercayaan umat dalam pengelolaan keuangan haji berada di tangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Meski diawasi oleh DPR, BPK perlu turun tangan untuk melakukan audit setiap tahunnya. Dalam melaksanakan tugasnya, BPK melakukan pemeriksaan meliputi audit laporan keuangan, audit kinerja, dan audit dengan tujuan tertentu.
Dari hasil laporan audit tersebut, BPK memberikan rekomendasi perbaikan-perbaikan yang dapat ditindaklanjuti oleh instansi yang diperiksa.
Untuk BPHK sendiri, BPK melakukan pemeriksaan keuangan atas Laporan Keuangan Badan Pengelola Ibadah Haji (LK BPIH) dan Laporan Keuangan Dana Abadi Umat (LK DAU), serta melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atau pemeriksaan kinerja.
Dari hasil audit ini, BPKH berhasil meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) secara berturut-turut atas Laporan Keuangan tahun 2018 dan 2019. Sementara itu, Laporan Keuangan BPKH 2020 masih dalam proses audit.
Opini WTP tersebut menunjukkan bahwa laporan keuangan BPKH diselenggarakan dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan baik berdasarkan bukti-bukti audit.
Pencapaian tertinggi untuk kualitas Laporan Keuangan dari BPK ini akan membuktikan tata kelola keuangan haji dilakukan secara transparan dan akuntabel atau sesuai ketentuan yang berlaku.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News