Dalam laporannya, pada tahun ini Indonesia diperkirakan hanya memiliki 10 gigawatt-hour (Gwh) atau kurang dari 0,4 persen kapasitas produksi baterai global yang sebesar 2.800 Gwh.
Kapasitas produksi baterai EV juga disebut tertinggal dari eksploitasi nikel di Tanah Air. Energy Shift mencatat produksi nikel Indonesia mencapai 49 persen dari total produksi global pada 2022. Produksi itu diperkirakan terus melonjak hingga 70 persen pada 2040.
Jika mengutip data US Geological Survey (USGS), produksi nikel Indonesia diperkirakan mencapai 1,8 juta metrik ton (MT) pada tahun lalu. Sementara itu, Tiongkok yang menguasai 56 persen pangsa pasar baterai EV di Asia hanya memproduksi 110 ribu ton nikel.
"Dengan kapasitas global diperkirakan meningkat dua kali lipat menuju 2030, sangat jelas produksi baterai EV RI tertinggal jauh di belakang meski produksi nikelnya meningkat lebih dari delapan kali lipat sejak 2015," ujar Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna dalam keterangan resmi, dilansir Media Indonesia, Senin, 12 Februari 2024.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo selama ini menggaungkan kebijakan hilirisasi nikel dengan menghentikan ekspor bijih nikel untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain kunci dalam industri baterai dan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) dunia.
Namun, sayangnya, ketika Indonesia mulai merangkak naik dalam rantai pasok industri baterai EV, perlombaan di antara negara lain sudah berjalan kencang. Misalnya dengan Tiongkok. Dalam semester pertama tahun lalu, pabrik baterai di 'Negeri Tirai Bambu' secara rata-rata memproduksi 45 persen dari total kapasitas.
Baca juga: Hilirisasi Nikel Ugal-ugalan? |
"Energy Shift memandang permintaan nikel dunia untuk baterai sangat mungkin akan terus melambung seiring dengan laju adopsi KBLBB," ucap Putra.
Berdasarkan perkembangan yang ada, Putra menerangkan produsen baterai lebih condong menempatkan investasi pabrik mengikuti perkembangan pasar KBLBB. Di Indonesia, adopsi kendaraan listrik masih lamban. Hal itu dianggap menjadi permasalahan utama dalam pengembangan baterai EV di Indonesia.
Putra menyebut masuknya perusahaan mobil listrik raksasa asal Tiongkok, Build Your Dream atau BYD, diperkirakan tidak akan berimbas besar dalam pengembangan pabrik baterai berbasis nikel di Indonesia karena model mobil listrik BYD yang dijual di Indonesia menggunakan baterai tanpa nikel alias menggunakan baterai lithium ferro-phosphate (LFP).
"Dengan arah saat ini, mungkin Indonesia hanya akan bergeser dari eksportir produk nikel untuk baja tahan karat menjadi eksportir produk setengah jadi untuk industri baterai," jelas Managing Director Energy Shift Institute itu.
Putra mendorong para pemangku kepentingan untuk mengoreksi kebijakan hilirisasi nikel karena menghasilkan kapasitas produksi baterai EV yang masih kecil.
"Indonesia tampaknya telah mencapai batas daya tawar hilirisasi nikelnya. Ini adalah saat yang tepat untuk meninjau ulang dan menata kembali rencana hilirisasi ke depan," kata Putra.
Indonesia baru mulai membentuk ekosistem EV
Saat dikonfirmasi, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Rachmat Kaimuddin mengakui Indonesia baru mulai membentuk ekosistem EV. Pasar EV diklaim mulai berkembang pesat sejak dua tahun terakhir.
Katanya, jika pasar kendaraan listrik berkembang di Tanah Air, industri domestik pun akan ikut tumbuh dan mendongkrak kapasitas baterai EV.
"Bila kapasitas produksi EV domestik kita berkembang, biasanya gigafactory atau pabrik pembuatan baterai raksasa juga berkembang. Ini yang masih kita upayakan," ujar Rachmat ketika merespons laporan Energy Shift.
Untuk mengejar ambisi tersebut, Rachmat menuturkan, selain konsisten menjalankan hilirisasi mineral mentah, pemerintah mendorong peningkatan kapasitas produksi EV di Indonesia dengan instrumen regulasi. Mereka menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2023 tentang perubahan atas Perpres No.55/2019 tentang pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai atau battery electric vehicle (BEV).
Pemerintah mengiming-imingi adanya insentif berupa pembebasan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) hingga pajak kendaraan bermotor (PKB). Selain itu, pemerintah melonggarkan persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk produksi BEV. Penggunaan minimal 40 persen TKDN untuk industri EV seyogianya diberlakukan pada 2024, mundur pada 2026. Lalu, target TKDN 60 persen berlaku pada 2027.
"Kami optimistis dengan aturan yang ada, potensi pasar otomotif Indonesia akan menarik dan beberapa tahun ke depan pertumbuhan industri baterai EV akan meningkat pesat," harap Rachmat.
Baca juga: Indonesia Perlu Naikkan Kapasitas Produksi Baterai |
Minim persiapan
Saat dihubungi terpisah analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menilai pemerintah minim persiapan untuk membangun industri EV. Selama ini, pemerintah nyaman dengan peran dan keberadaan industri otomatif konvensional.
Proses hilirisasi nikel yang baru berjalan pada 2020 tidak serta-merta melahirkan industri EV. Itu disebabkan hilirisasi nikel baru berupa permurnian nikel menjadi feronikel dan sejenisnya. Hasilnya pun ujung-ujungnya diekspor.
"Pemerintah Indonesia belum memiliki persiapan yang matang untuk memulai industri EV," tegasnya.
Membawa investor asing untuk pengembangan baterai dan kendaraan listrik dinilai tak semudah membalikkan telapak tangan karena ekosistem di Indonesia belum terbentuk. Indonesia, kata Ronny, baru memiliki bahan baku berupa nikel dan kepastian rantai pasok juga masih menjadi kendala.
Ronny juga menyebut langkah strategis yang dijalankan pemerintah untuk peralihan dari kendaraan bahan bakar minyak (BBM) ke kendaraan ramah lingkungan dinilai tidak terukur secara jelas. Ia mencontohkan wacana pemberian pajak yang tinggi untuk kendaraan konvensional. Itu diyakini akan mendapatkan penolakan yang besar dari masyarakat.
"Karena pengguna kendaraan konvensional masih sebagai pengguna mayoritas," ucapnya.
Baca juga: Apa Itu LFP? Lithium Ferro Phosphate yang Disebut Gibran saat Debat Cawapres |
Industri baterai EV Indonesia tertinggal
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan permasalahan utama industri baterai EV Indonesia tertinggal ialah minimnya riset mengenai teknologi baterai yang digunakan mobil listrik. Riset itu amat diperlukan terkait dengan daya tahan dan keamanan baterai.
"Penelitian baterai kita tidak berkembang dengan baik. Tiongkok, Amerika Serikat, dan Eropa sudah amat mahir soal teknologi baterai EV. Kita sudah sangat ketinggalan di bidang pengembangan teknologi maju, terutama untuk energi hijau," tegasnya.
Saat ini, lanjut Rizal, pemerintah Indonesia hanya bisa menggandeng negara lain untuk pengembangan teknologi baterai dan kendaraan listrik dengan membangun pabrik. Padahal, Indonesia disebut memiliki keunggulan komparatif, yakni sumber daya mineral yang melimpah. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020, Indonesia memiliki cadangan nikel sebesar 72 juta ton Ni (nikel). Jumlah itu setara dengan 52% dari total cadangan nikel dunia.
Menurut Ketua Perhapi itu, pemerintah harus melakukan langkah yang terukur dari hulu hingga ke hilir untuk mengembangkan ekosistem EV.
Di hulu, perlu ada eksplorasi yang masif untuk penemuan produk mineral, seperti mineral kritis dan mineral strategis. Untuk di hilir, penguatan pelibatan triple helix yang terdiri dari pemerintah, pengusaha, dan akademisi untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam pengembangan teknologi yang dibutuhkan.
"Lalu, ada roadmap (peta jalan) yang jelas dengan timeline yang terencana untuk mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan," tuturnya.
Pemerintah iuga harus mendorong dengan regulasi dan simplifikasi perizinan yang mendukung pengembangan industri EV di Tanah Air.
"Kompleksitas ini harus segera diselesaikan agar industri EV Indonesia berjalan dengan cepat dan baik," jelas Rizal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id