Ilustrasi Garuda Indonesia. Foto: dok MI.
Ilustrasi Garuda Indonesia. Foto: dok MI.

Garuda Oh Garuda

Medcom • 23 November 2021 06:07
INTERNATIONAL Air Transport Association (IATA) memprediksi industri penerbangan dunia akan pulih pada 2024. Namun, di dalam negeri banyak kekhawatiran. Garuda Indonesia, maskapai yang sejak 1949 telah menjadi flag carrier merah-putih, diprediksi tak akan mampu bertahan hidup lebih lama dari itu lantaran berbagai masalah yang membelitnya.
 
Kecilnya peluang Garuda untuk bangkit dapat dilihat dari systemic corruption dan incompetent management yang sudah mengakar sejak lama. Satu contoh adalah pernyataan dari Kementerian BUMN sendiri, biaya sewa pesawat dibandingkan pendapatannya adalah empat kali lebih besar dari rata-rata global.
 
Menurut pengakuan salah satu eks komisarisnya, Garuda juga harus membayar kredit yang tinggi terhadap para lessor-nya. Dampak pandemi covid-19 pada esensinya hanya sekadar mengekspose persoalan yang memang sudah terakumulasi dalam waktu yang lama ada dan mengantar Garuda pada titik terendah.

Dalam catatan Saya, di 2020, pendapatan bulanan Garuda merosot 70 persen selama korona mewabah. Pada saat itu, Garuda sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan operasionalnya yang setiap bulannya bisa mencapai USD150 juta, sedangkan pendapatan Garuda bahkan pernah hanya mencapai USD27 juta.
 
Secara teknis, Garuda sudah bangkrut sebagaimana diakui sendiri oleh pemerintah. Langit tak lagi membawa untung bagi mereka. Ini dapat dilihat dari utangnya yang berjumlah USD9,75 miliar (atau sekitar Rp140 triliun), melebihi jumlah asetnya yang sebesar USD6,92 miliar.
 
Hal ini menyebabkan ekuitas atau modal Garuda, menjadi minus USD2,8 miliar atau sekitar Rp39,7 triliun. Diakui oleh pemerintah, ekuitas negatif ini menjadi rekor baru mengalahkan Jiwasraya. Kebangkrutan teknis yang dialami Garuda ini memengaruhi banyak hal, termasuk di antaranya pengurangan armada dan jumlah rute penerbangan.
 
Tahun depan, Garuda hanya akan menerbangkan 134 unit berbanding 202 unit pesawat pada 2019. Dari segi rute, Garuda juga memangkas dari semula 237 rute menjadi hanya 140 rute. Pada dasarnya, pemerintah harus ikut bertanggung jawab dengan kondisi Garuda yang secara teknis telah bangkrut, sekurang-kurangnya lantaran status pemerintah sebagai pemilik saham terbesar dari emiten berkode GIAA ini.
 
Pemerintah adalah pihak yang selama ini mengangkat dan memberhentikan Direksi ataupun Komisaris. Pemerintah jugalah yang menyetujui ekspansi armada. Persoalan Garuda adalah dilema besar bagi Indonesia. Di satu sisi, akumulasi persoalan tata kelola yang begitu lama, menjadikan perusahaan ini menjadi ladang korupsi, maka dibiarkan bangkrut adalah satu opsi natural. Tetapi di sisi lain, jika tidak diselamatkan, ada kekhawatiran masalah yang membelit Garuda bisa merembet ke perusahaan-perusahaan lainnya, belum lagi persoalan massive layoff yang akan terjadi.

Dampak sistemik Garuda harus diwaspadai

Dampak sistemik harus diwaspadai. Garuda memiliki utang terhadap paling tidak dua bank BUMN yakni BNI sebesar Rp5,2 triliun dan BRI Rp5,97 triliun per September 2021. Ada pula Mandiri yang belum diketahui angkanya. Seperti virus, sakitnya Garuda bisa menular kepada perusahaan lain yang sehat.
 
Selain itu, Farouk melanjutkan, perlu diperhitungkan juga bagaimana dampak yang akan dialami perusahaan pelat merah lainnya seperti PT Pertamina yang selama ini menyediakan bahan bakar avtur untuk Garuda, hingga PT Angkasa Pura yang menyediakan jasa ground handling unit pesawat.
 
Pemerintah pun harus lebih serius mencari solusi terbaik. Jangan sampai ada langkah sembrono yang justru membuat Garuda jatuh menukik dan tumpas berkalang tanah. Maka sebagaimana dilakukan pemerintah di banyak negara lain, pemerintah Indonesia harus juga mampu memetakan persoalan yang tepat agar solusinya juga dapat tepat. Pemetaan itu harus mampu menghitung risiko apa saja yang muncul jika suatu keputusan diambil.
 
Lebih dalam lagi, pencarian solusi atas persoalan Garuda harus didahului langkah pembenahan manajemen perusahaan. Perusahaan yang sehat berawal dari tata kelola yang baik (good corporate governance), namun sayangnya Garuda tidak memiliki prasyarat tersebut.
 
Garuda punya masalah dengan prinsip good corporate governance. Hal ini harus segera dibenahi mengingat ia adalah prinsip dasar yang menunjang performa sebuah perusahaan. Lebih-lebih saat ini Garuda sedang bernegosiasi meyakinkan para lessor dan pemilik piutang untuk mau merestrukturisasi tunggakan dari USD9,75 miliar menjadi USD3,69 miliar.
 
Para lessor tentu akan menilai seberapa jauh prinsip good corporate governance dijalankan oleh manajemen Garuda. Jika di sisi ini manajemen Garuda gagal perform, agak mustahil proposal restrukturisasi Garuda diterima.

Farouk Abdullah Alwyni
Dewan Penasehat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
Ketua Departemen Ekonomi & Pembangunan, DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS)


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan