Ilustrasi penggunaan energi terbarukan. Foto: dok Pertamina.
Ilustrasi penggunaan energi terbarukan. Foto: dok Pertamina.

Memantapkan Komitmen Transisi Energi Indonesia

Insi Nantika Jelita • 05 September 2022 11:00
KEMENTERIAN Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama International Energy Agency (IEA) meluncurkan Peta Jalan (Roadmap) Net Zero Emission 2060 Sektor Energi Indonesia pada pertemuan tingkat menteri energi di Bali, Jumat, 2 September 2022. Roadmap tersebut dianggap sebagai bukti komitmen pemerintah Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim.
 
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan, pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan (EBT) direncanakan mulai beroperasi pada 2035. Adapun pembangkit listrik tenaga nuklir mulai masuk di 2040.
 
"Kami terus memperkuat semua potensi EBT yang dapat dimanfaatkan. Hal ini agar setiap orang memiliki akses untuk berpartisipasi dalam pengembangan energi hijau," ujarnya.

Arifin menyampaikan, sejumlah aksi mitigasi telah diidentifikasi dari roadmap tersebut:

  1. Pertama, pengembangan energi terbarukan secara besar-besaran yang sebagian besar berfokus pada tenaga surya, hidro, dan panas bumi.
  2. Kedua, penghentian bertahap pembangkit listrik tenaga batu bara.
  3. Ketiga, penggunaan teknologi rendah emisi seperti transmisi super grid dan pengembangan teknologi penangkap karbon atau carbon, capture, utilization, and storage (CCS/CCUS).
  4. Keempat, peralihan ke kendaraan listrik.
  5. Kelima, soal dorongan penggunaan energi bersih di sektor industri, transportasi, dan bangunan seperti pemakaian hidrogen dan amonia.
Menteri ESDM mengakui, dalam merealisasikan rencana tersebut ada tantangan yang besar, terutama dalam teknologi EBT dan pendanaan. "Kita juga perlu memprioritaskan penelitian, pengembangan, dan penerapan untuk teknologi energi hijau bagi generasi berikutnya," imbuhnya.

Arifin kemudian mendorong adanya penguatan kolaborasi semua pemangku kepentingan, terutama terkait pendanaan dalam transisi energi yang memakan banyak biaya.
 
"Pembiayaan harus terbuka lebar untuk semua negara. Saya berharap roadmap ini memberikan perspektif dan acuan untuk mencapai target nol bersih emisi di 2060," tuturnya.
 
Dalam kesempatan yang sama, IEA mengungkapkan, untuk mencapai netralitas karbon di 2060, Indonesia membutuhkan hampir tiga kali lipat investasi energi pada 2030 dari tingkat saat ini. Itu berarti ada tambahan investasi sebesar USD8 miliar per tahun atau sekitar Rp119 triliun.
 
Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol menuturkan, memobilisasi pembiayaan tambahan itu bergantung pada reformasi kebijakan dan dukungan keuangan internasional melalui program pendanaan Kemitraan Transisi Energi Internasional yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP).
 
Baca juga: Menteri ESDM Dorong Implementasi Net Zero Emission Akuntabel dan Transparan

"Tentu saja, selain upaya internal, ada kebutuhan kolaborasi internasional untuk mewujudkan tekad tersebut dalam hal pembiayaan," ucapnya.
 
Ia melihat potensi sumber daya EBT Indonesia luas, yang harus dioptimalkan secara baik dalam transisi energi bersih. Sebagai contoh, Indonesia merupakan negara dengan produksi nikel terbesar di dunia, juga timah dan komponen bahan mineral penting lainnya.
 
"Di 2030, Indonesia dapat menghasilkan lebih banyak uang dari mengekspor mineral penting daripada yang pernah diperoleh dari mengekspor batu bara," jelas Fatih.
 
IEA mendorong Indonesia untuk menegakkan standar kinerja energi, terutama dalam penggunaan AC dan mendukung elektrifikasi transportasi demi menurunkan biaya energi dan emisi di saat yang bersamaan.
 
Pasalnya, dari laporan IEA, rumah-rumah di Indonesia akan menambah pemakaian 20 juta AC di 2030. Hal itu perlu dikurangi untuk menghindari permintaan listrik yang setara dengan sekitar 10 pembangkit listrik tenaga batu bara.
 
Fatih menambahkan, ajang presidensi G-20 harus dimanfaatkan Indonesia untuk menyerukan mitigasi perubahan iklim kepada 20 negara dalam kelompok ini.
 
"Kami menilai akan sulit untuk mencapai target ini jika tak ada kolaborasi dan komitmen yang kuat. Presidensi Indonesia pun sangat penting untuk menyukseskan pencapaian netralitas karbon," jelasnya.

Kolaborasi bersama

Di kesempatan yang berbeda, Chair of The Business 20 atau B20 Indonesia Shinta Kamdani menyampaikan, selama rentang waktu 2000-2019, biaya sosial dan ekonomi yang dikeluarkan oleh negara di dunia sangat besar terkait emisi gas rumah kaca yang muncul akibat penggunaan bahan bakar fosil.
 
"Kita sudah kehilangan ratusan miliar dolar AS akibat emisi karbon selama periode itu. Karena itu, B20 Indonesia akan menjadi jembatan untuk menghindari dampak yang lebih besar," ucapnya dalam keterangan saat dialog B20 Indonesia Energy, Sustainability and Climate Task Force (ESC TF) di Bali.
 
Dalam transisi energi, dua legacy programs yang disiapkan pemerintah, yaitu carbon center of excellence dan global blended finance. Carbon center of excellence, kata Shinta, akan membantu dan memandu dunia usaha dalam memahami perdagangan karbon melalui hub pengetahuan serta practice sharing center.
 
Adapun global blended finance alliance merupakan platform organisasi multilateral yang akan membantu dalam persoalan inovasi pembiayaan dalam infrastruktur hijau, keamanan energi, akses dan efisiensi energi, juga inovasi teknologi bersih demi mitigasi dampak perubahan iklim.
 
Baca juga: Indonesia Ajak G20 Bantu Negara Berkembang Menuju Transisi Energi

B20 ESC TF telah merumuskan tiga rekomendasi yang akan dibahas bersama, yaitu mempercepat transisi ke penggunaan energi berkelanjutan, memastikan transisi yang adil dan terjangkau, serta kerja sama global untuk meningkatkan aksesibilitas energi.
 
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid menambahkan, transisi energi akan memberikan banyak efek positif bagi ekonomi Indonesia dan dunia. Hilirisasi sumber daya alam Indonesia, seperti nikel, bisa ikut berkontribusi dalam membangun ekosistem ekonomi hijau, khususnya untuk industri mobil listrik dan panel surya yang membutuhkan nikel sebagai bahan baku baterai serta panelnya.
 
"Transisi energi akan meringankan beban APBN kita yang selama ini tersedot untuk subsidi energi fosil," terangnya.
 
Sejatinya, pengembangan industri hijau dan transisi energi ini penuh tantangan sehingga hanya bisa tercapai lewat kolaborasi antara publik dan swasta dengan terus-menerus menciptakan inovasi dan dukungan regulasi yang baik.
 
Arsjad menyebut, dalam upaya mencapai ambisi net zero, Indonesia membutuhkan 220 gigawatt (Gw) kapasitas panel surya dari 2030 sampai 2050, dan saat ini dikatakan sudah ada regulasi yang mendukung untuk mencapai transisi energi.
 
"Selain itu, sebagai negara berkembang, kita butuh dukungan pendanaan, capacity building, dan teknologi untuk mencapai transisi energi yang inklusif dan berkeadilan," ucap Arsjad.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan