Di 2023, sambungnya, beberapa indikator menunjukkan daya beli menurun, terutama dari konsumsi rumah tangga yang turun dari 4,9 persen ke 4,82 persen. "Ini khawatirnya ketika PPN itu naik kemarin (2022), orang cenderung untuk pelesiran, yang pada akhirnya menyebabkan sektor-sektor konsumsi yang bukan kebutuhan pokok itu menurun. Padahal, konsumsi rumah tangga, selain yang bahan makanan ini, juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Lebih dari 50 persen ekonomi kita disusun oleh konsumsi rumah tangga," bebernya.
Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Indef, Ahmad Heri Firdaus, berpendapat penaikan PPN 12 persen di tahun depan diperkirakan memberikan dampak besar kepada masyarakat golongan menengah ke bawah.
"Dampaknya terhadap konsumsi atau dampaknya terhadap peningkatan income secara riil di setiap lapisan masyarakat, ya, atau segmen masyarakat itu akan berbeda-beda. Bisa jadi dampak yang diterima oleh masyarakat golongan menengah bawah itu akan lebih besar dibanding masyarakat golongan menengah atas," jelas dia.
Peningkatan PPN yang berakibat pada peningkatan biaya seperti biaya produksi akan memiliki efek domino terhadap kenaikan harga barang dan jasa. Dampaknya, daya beli akan melemah. Maka, yang akan terjadi selanjutnya ialah utilisasi produksi lintas sektor akan menurun.
Jika penurunan sampai terjadi di sisi ritel, tentunya ini akan menyebabkan dunia usaha menyesuaikan input produksi. Salah satunya dengan penyesuaian tenaga kerja. Penyesuaian bisa dilakukan dengan mengurangi jam kerja atau bahkan mengurangi jumlah tenaga kerja.
Selain itu, penaikan PPN dari 10 persen ke 11 persen pada April 2022 memberikan dampak inflasi yang cukup tinggi. "Inflasi yang terjadi pada saat itu ialah 0,95 persen, year on year langsung mencapai 3,47 persen," papar Heri.
Baca juga: Naikkan Tarif PPN Jangan Semena-mena, Kudu Lihat-lihat Tren Inflasi dan Daya Beli |
Kaji ulang
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Induansjah meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan penaikan PPN menjadi 12 persen di tahun depan.
"Harapan kami dikaji dahulu angkanya. Kalau memang mesti naik, bagaimana. Kalau mesti turun, bagaimana. Sosialisasi dilakukan. Kalau bisa, ya, jangan naik, karena nanti semua jadi tambah naik," terang Budi.
Ia menyebut, apabila PPN naik, yang pasti akan terjadi di industri ritel ialah kenaikan harga dari barang-barang yang dijual, baik restoran, toko buku, toko baju, dan lain-lain. Selain itu, Budi juga menyebut cash flow yang dihadapi akan makin berat.
"Itu yang pasti ada kenaikan harga. Itu kan yang harus diantisipasi. Dampaknya mungkin lebih ke inflasi akan menurunkan daya beli. Kita khawatir daya beli nanti turun. PPN itu kan cash flow, kita harus nalangin dulu, ya. Namanya PPN, nalangin di muka itu berat. Kita harus bayar dulu penjualan kita 12 persen di muka, arus kas kita makin berat," kata dia.
Di sisi lain, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menyebut naiknya PPN 12 persen akan berdampak terhadap harga pembelian bahan baku dan biaya produksi.
Solusi alternatif
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan menaikkan PPN 12 persen di tahun depan bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan penerimaan pajak.
"Padahal ada cara lain untuk meningkatkan penambahan penerimaan pajak. Saat ini kepatuhan pembayaran PPN hanya sekitar 65 persen. Kalau kepatuhan bisa ditingkatkan menjadi 90 persen, akan ada tambahan sekitar Rp150 triliun, sekitar tujuh persen dari penerimaan pajak tahun lalu. Jadi tidak perlu ada peningkatan PPN, tapi collection-nya yang harus ditingkatkan," kata Yose.
Penaikan PPN, ujar Yose, pasti akan mengganggu daya beli. Saat ini, konsumsi masyarakat masih jauh di bawah level sebelum pandemi, hanya sekitar 52 persen, turun dari 54,5 persen. Di samping itu, meskipun jumlah pengangguran cukup rendah, kebanyakan pekerja saat ini bekerja pada sektor informal dengan penghasilan lebih rendah dan tidak menentu.
"Jika dibandingkan dengan sebelum pandemi, angka pekerja sektor formal masih lebih rendah empat juta orang. Padahal, angkatan kerja terus bertambah. Ini memengaruhi daya beli yang memang melemah. Terlihat juga dengan penurunan pertumbuhan konsumsi masyarakat. Jika dikenakan tambahan PPN, tentunya akan makin melemah lagi," tegasnya.
Baca juga: PPN Naik Jadi 12% Sebenarnya Gak Masalah, Tapi... |
Dihubungi terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti menyampaikan bahwa penyesuaian tarif PPN menjadi 12 persen merupakan amanat Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
"Mengenai waktu implementasinya, kami berpedoman pada amanat UU HPP, yaitu paling lambat 1 Januari 2025. Perlu kami tegaskan bahwa penyesuaian tarif PPN bukan ditetapkan saat ini, melainkan sudah ditetapkan saat UU HPP disahkan oleh DPR pada 29 Oktober 2021," kata Dwi.
Kendati demikian, sesuai pernyataan Menteri Keuangan dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada 19 Maret 2023, penaikan tarif PPN menjadi 12 persen diserahkan kepada pemerintahan selanjutnya. "Namun, pemerintah juga menghormati kebijakan pemerintahan baru, termasuk kebijakan mengenai target penerimaan negara," tegasnya. (Naufal Zuhdi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id