Menariknya, kasus ini seakan sudah menjadi bola liar meskipun pemerintah sudah mengingatkan akan bahaya melakukan trading di binary option. Sudah dari 2019, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 'berteriak' ke sana kemari mengenai bahaya dari aplikasi binary option, apapun namanya. Kandung banyak orang lebih percaya kepada pernyataan influencer ketimbang institusi resmi.
Kasus yang melibatkan banyak influencer ini menekan perhatian masyarakat. Entah berapa kerugian yang diterima masyarakat karena diperkirakan ada 36 influencer yang diduga melakukan promosi binary option kepada publik. Betapa besarnya kerugian, jika satu influencer bisa memengaruhi 10 ribu orang untuk bergabung di binary option.
Perkiraan 'minimalis' itu karena rata-rata influencer binary option memiliki pengikut yang cukup banyak baik dari Instagram, YouTube, sampai grup Telegram. Jika satu orang berinvestasi sebesar Rp10 juta, maka satu influencer bisa membawa uang dari publik sebesar Rp100 miliar untuk melakukan trading. Itu baru hitung-hitungan mudah, padahal ada juga trader yang menaruh deposit hingga Rp500 juta hingga miliaran. Jumlah member di Telegram juga bisa lebih dari itu, mengingat tak ada batasan member di Telegram.
Platform binary option ini semakin parah dengan banyaknya kesaksian yang mengaku adanya kecurangan dalam candlestick saat melakukan trading. Perbedaan candlestick satu trader dengan yang lain dalam waktu yang sama menjadi polemik, karena seharusnya semua trader menghadapi candlestick yang sama. Hal yang tak lazim.
Seandainya memang tak ada unsur penipuan trader yang seharusnya melakukan trading di binary option harusnya memang trader bersertifikasi resmi, alias berkemampuan tinggi. Maraknya masyarakat awam berinvestasi di platform itu memang menjadi makanan empuk bagi trader ahli. Apalagi jika memang ada indikasi penipuan didalamnya.
Kurang literasi dan instant culture
Persoalan literasi menjadi persoalan klasik bagi masyarakat Indonesia. Alih-alih mencermati sesuatu sebelum berinvestasi, mereka lebih percaya omongan saudara, kerabat, atau influencer yang bahkan tak mereka kenali karakter dan kepribadiannya secara langsung.Persoalan dalam robot trading, juga menjadi contoh tambahan mengenai hal itu. Salah satu teman mengaku berinvestasi di robot trading karena kesaksian dari temannya. Dana yang dideposit juga cukup besar, mencapai ratusan juta rupiah. Sampai sekarang dana itu tak bisa dicairkan karena masuk dalam investasi bodong.
Jumlah robot trading ini beragam dan rata-rata memiliki broker asing yang berdomisili di luar negeri tanpa izin resmi, sehingga pergerakannya tak bisa diawasi oleh otoritas resmi di Indonesia. OJK hanya bisa mengawasi praktek broker di dalam negeri yang berlisensi. Pengawasan semakin baik dengan perlindungan kepada investor domestik jika broker mengalami kesulitan keuangan.
Robot trading mencerminkan sikap masyarakat yang tak mau menikmati proses sebelum menuai hasil dalam investasi. Pakem ini kerap disebut instant culture yang menjadi bumerang tersendiri di era yang semakin cepat. Budaya mau cepat dan gampang tanpa kerja keras.
Salah satu investor kawakan di pasar modal berceletuk kalau memang robot trading bisa menghasilkan cuan sebesar 240 persen dalam setahun dengan asumsi sehari satu persen, mengapa mereka mau menjualnya ke publik? Bukankah lebih nikmat jika dipakai sendiri bersama kolega-kolega dan keluarga?
Jim Simmons salah satu investor yang return-nya melebihi Warren Buffett, dan menjadi investor dengan return tertinggi dalam waktu panjang secara konsisten, menciptakan sistem trading dengan algoritma matematika yang secara rata-rata menghasilkan return 60 persen setahun selama 20 tahun. Jim tak pernah membicarakan strategi investasinya, bahkan tak menjual produknya kepada publik pada beberapa tahun ini. Jika Jim yang cuan "hanya" 60 persen setahun saja memilih menyembunyikan aset berharganya, mengapa pendiri robot trading itu mau?
Ujian terhadap pemulihan ekonomi
Salah satu upaya untuk menggenjot roda ekonomi adalah menjaga daya beli masyarakat. Upaya menjaga daya beli muncul dari kenaikan pendapatan masyarakat baik karena aktivitas usaha maupun bentuk pendapatan tambahan lainnya seperti dari investasi atau produk lainnya.Upaya ini sudah tertekan dengan kenaikan harga komoditas seperti pangan hingga minyak yang naik dan berpotensi menekan daya beli masyarakat. Konsumsi sekunder bisa dikecilkan karena masyarakat sibuk berusaha memenuhi kebutuhan primer yang melonjak tinggi. Persoalan ini sangat tak terbayangkan sebelumnya karena perang Rusia-Ukraina yang memicu hal itu.
Padahal uang trader yang nyangkut berjemaah di binary option atau robot trading bisa digunakan untuk membeli kebutuhan lain seperti otomotif, properti, atau produk lainnya yang pada akhirnya bisa mendorong roda ekonomi. Rata-rata yang terkena tragedi ini merupakan kelas menengah yang bisa menjadi simpul kekuatan untuk menggenjot konsumsi.
Alhasil, Pemerintah perlu lebih keras lagi mengedukasi masyarakat dengan mengambil pelajaran ini. Gaya komunikasi lama yang kerap menggunakan imbauan di media konvensional bisa dikaji kembali karena peran influencer yang berkembang sangat pesat.
Nasi sudah jadi bubur. Namun persoalan investasi bodong seperti menjadi bahan bakar yang tak pernah habis di tengah kurangnya literasi dan instant culture yang semakin normal di era revolusi digital.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News