Larangan tersebut tengah digodok pemerintah lewat revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 50/2020 tentang Perdagangan Digital yang saat ini sudah dalam tahap harmonisasi aturan perundangan.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Teten Masduki memandang aturan minimum harga produk impor yang dijual di platform digital perlu diberlakukan untuk melindungi UMKM. Dengan mematok harga minimal produk, hal itu diharapkan dapat mengurangi produk impor yang sebenarnya banyak diproduksi di dalam negeri. Dengan begitu, produk buatan UMKM bisa mendominasi lokapasar.
"Menurut saya, harganya harus dipatok, minimum USD100 boleh jualan di sini. Tapi kalau di bawah itu, jangan, dong. Kalau peniti saja, ngapain impor," kata Teten, pekan lalu.
Ia mengakui selama ini serbuan produk impor telah mengancam produk UMKM lokal. Pasalnya, banyak produk dari Tiongkok yang harganya jauh lebih murah ketimbang produk lokal.
"Ini predatory pricing, bukan lagi dumping," ujar Teten.
Lewat revisi Permendag No 50/2020, ia juga berharap Menteri Perdagangan melarang marketplace atau social commerce menjual produk mereka sendiri ataupun dari pihak yang terafiliasi dengan mereka. Pasalnya, sebuah platform digital yang merangkap jadi wholesaler dikhawatirkan akan menimbulkan praktik yang tidak adil terhadap UMKM ataupun pedagang ecer lainnya.
"Kalau marketplace dan social commerce jualan barang juga, algoritma mereka akan mengarahkan ke produk-produk mereka sehingga konsumen di pasar digital akan membeli produk mereka," jelas Teten.
Revisi Permendag atur produk lokal dan impor
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengatakan revisi Permendag No 50/2020 akan mengatur perlakuan yang sama antara produk lokal dan impor. Salah satunya ialah soal pengenaan pajak yang sama terhadap produk yang dijual di platform digital atau social commerce, baik lokal maupun impor.
"Penjualan produk di platform digital itu harus sama dengan UMKM lainnya. Mulai dari izin hingga pajak juga harus sama," kata Zulkifli.
Kemudian, lanjut Mendag, platform digital tidak boleh menjadi produsen atau menghasilkan barangnya sendiri. Contohnya, seperti Tiktok Shop yang akan dilarang membawa produk dari negara afiliasinya dan memasarkan produknya sendiri.
Lalu, poin berikutnya ialah terkait penetapan harga minimum barang impor, yakni USD100. Hal itu untuk mencegah masuknya produk-produk dengan harga murah yang dapat mengganggu ekosistem UMKM Indonesia.
"Saya juga diminta untuk melindungi UMKM kita. Masa kecap saja harus impor. Makanya, saya usulkan harganya USD100," kata Mendag.
Baca juga: Barang Impor di Bawah Rp1,5 Juta Bakal Dilarang Dijual di Marketplace |
Perlu kehati-hatian
Ketua Umum Asosiasi IUMKM Indonesia (Akumandiri) Hermawati Setyorinny menyambut baik langkah pemerintah itu. Menurutnya, langkah tersebut sangat tepat guna melindungi dan memajukan produk-produk dalam negeri, khususnya UMKM.
Kendati demikian, ia juga meminta dalam merealisasikan permendag yang baru nanti perlu adanya pengawasan yang ketat dan sanksi atas pelanggarannya.
"Pemerintah harus terus melakukan pengawasan serta pendampingan bagi UMKM. Hal itu agar produk-produk UMKM dapat bersaing dengan produk impor," tuturnya.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga mendukung upaya perlindungan produk UMKM tersebut. Hanya, pemerintah perlu berhati-hati dalam penerapannya agar tak bertabrakan dengan prinsip pasar bebas dalam perdagangan internasional.
"Kita juga harus lihat kondisi pasar bebasnya sendiri seperti apa. Kita ada aturan-aturan internasional yang tidak bisa kita salahkan dan tentunya harus berhati-hati di sisi itu," kata Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani.
Dari sisi harga, Shinta mengakui produk lokal memang masih sulit bersaing dengan produk impor yang harganya jauh lebih murah.
"Masalahnya, UMKM itu perlu waktu untuk menghasilkan produk yang murah. Kalau sekarang disuruh bersaing dengan produk impor yang murah, ya, sulit. Masa konsumen disuruh beli barang yang harganya lebih mahal? Jadi, kalau ditanya soal kompetisi seperti itu, ya, sulit karena dia tidak bisa berdaya saing dengan produk impor," ujarnya.
Karena itu, sambung Shinta, sudah sepatutnya pemerintah tidak hanya memberi perlindungan terhadap UMKM dalam bentuk aturan pelarangan produk impor, tetapi juga mendorong agar produk lokal bisa bersaing di pasar domestik maupun pasar global.
Insentif dan disinsentif
Pengamat ekonomi dari Institut of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda menilai kebijakan larangan impor bagi produk di bawah USD100 hanya akan efektif untuk barang impor yang penjualnya di luar negeri dan pengirimannya juga dari luar negeri atau yang disebut cross border commerce. Kalau penjualnya ialah pedagang lokal dan barangnya pun sudah ada di dalam negeri, larangan itu tak akan efektif.
"Kebijakan pelarangan impor bagi produk di bawah USD100 akan efektif untuk membendung impor, tapi itu untuk sistem yang cross border commerce. Sedangkan untuk yang barangnya sudah ada di Indonesia, tentu tidak akan berpengaruh kebijakan ini," kata Huda, Sabtu, 29 Juli 2023.
Karena itu, ia meminta pemerintah segera menerapkan sistem insentif dan disinsentif untuk membendung produk-produk impor yang sudah ada di Indonesia.
Hal itu dapat dilakukan, misalnya, dengan memberikan biaya administrasi yang lebih tinggi untuk produk impor. Sementara itu, produk lokal dapat diberikan voucer, diskon, atau gratis ongkos kirim.
"Untuk mengaturnya, perlu diberikan satu sistem insentif dan disinsentif, seperti barang-barang di Glodok yang kebanyakan impor dan banyak dijual di e-commerce, itu harus dikasih disinsentif," ujar Huda. (Ficky Ramadhan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News