Foto: AFP.
Foto: AFP.

Minyak di Tengah Pandemi

Media Indonesia • 06 Mei 2020 11:37
PEBISNIS global-lokal saat ini ramai memperbincangkan kejatuhan harga minyak akibat meluasnya covid-19.
 
Sepanjang Maret-Mei, harga minyak jatuh di kisaran USD20-USD23 per barel. Ini ialah rekor harga terendah sepanjang sejarah dunia. Padahal, pada krisis ekonomi 1998 dan 2008, harga minyak memang jatuh, tetapi tak separah sekarang ini. Pada 2008, harga minyak masih di kisaran USD32 per barel.
 
Penurunan harga minyak menyebabkan negara-negara pengimpor minyak tak berjaya lagi. Korporasi-korporasi di sektor perminyakan, seperti Saudi Aramco dan Exxon Mobil, yang aselama ini menikmati untung dari tingginya harga minyak mengalami koreksi total. Produsen-produsen minyak harus merevisi target produksi dan melakukan banyak efisiensi. Yang untung ialah para spekulan dan feature trader.

Penurunan harga minyak dipicu tak bergeraknya berbagai sektor. Mobilitas manusia dan barang-jasa antarnegara terhenti, operasionalisasi industri terhenti, maskapai penerbangan tak beroperasi, dan aktivitas manusia lumpuh. Ini berpengaruh pada penurunan tingkat konsumsi dan permintaan minyak global.
 
Sementara itu, di sisi supply (persediaan) negara-negara penghasil minyak terus memompa produksi. Bahkan Arab Saudi, misalnya, memproduksi minyak di luar perkiraan. Pada April, Arab Saudi memproduksi minyak sebesar 12 juta barel per hari dan Mei sebesar 8,5 juta barel per hari.
 
Sepanjang Maret-April 2020, rata-rata minyak negara-negara penghasil minyak yang dilempar ke pasar mencapai 20 juta barel per hari. Ini menyebabkan harga minyak tertekan sangat dalam. Meskipun negara-negara penghasil minyak yang bergabung dalam OPEC sudah bersepakat mengurangi produksi sebesar 9,7 juta barel per hari (bph) untuk periode Mei-Juni, jika konsumsi minyak global tertekan, harga minyak belum beranjak naik. Pertanyannya, bagaimana Indonesia dan Pertamina di tengah kejatuhan harga minyak global ini?
 
Semestinya Untung
 
Indonesia termasuk negara pengimpor minyak (net importir) untuk memenuhi konsumsi minyak domestik. Produksi minyak Indonesia setiap tahun menurun. Per 2019, produksi minyak hanya mencapai 750 ribu barrel oil per day (bopd). Sementara itu, konsumsi domestik mencapai 1,5 juta bopd.
 
Untuk itu, Indonesia harus membeli minyak impor yang selama ini berada di kisaran USD67 per barel. Belum lagi dengan liquefied petroleum gas (elpiji) yang harus diimpor mencapai 70 persen dari Timur Tengah. Tingginya impor menyebabkan neraca perdagangan defisit.
 
Secara teoretis, dengan kejatuhan harga minyak global, seharusnya Indonesia menikmati untung karena bisa menghemat banyak dana dan menyelamatkan neraca dagang yang selama ini terpukul karena impor migas tinggi. Dengan itu, Pertamina sebagai perusahaan pendistribusi BBM bisa menurunkan harga. Namun, realitasnya, harga BBM masih tinggi. Di SPBU Pertamina harga bensin masih kisaran angka Rp9.000 per liter.
 
Pertamina memang berencana mengimpor 10 juta barel minyak mentah, 9,3 juta barel gasoline, dan elpiji lima kali 44 metrik ton untuk menurunkan cost of goods sold (COGS) perseroan. Namun, Pertamina sebagai BUMN tidak bisa beraksi seperti trader. Pertamina memiliki kewajiban membeli minyak dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas domestik mengikuti Peraturan Menteri ESDM Nomor 42/2018. Itu membuat Pertamina tak leluasa membeli minyak impor pada saat harga minyak global turun.
 
Dengan aturan itu, KKKS diperbolehkan menjual jatah produksi milik mereka ke luar negeri. Dari total produksi minyak Indonesia sebesar 800 ribu barel per hari pada 2019, sekitar 200 ribu-300 ribu barel merupakan jatah KKKS dan biasanya diekspor. Sementara itu, sekitar 40 persen dibeli Pertamina untuk memenuhi kebutuhan domestik.
 
KKKS yang telah bersepakat menjual minyak ke Pertamina, seperti PT Energi Mega Persada sebesar dua juta barel per tahun, Chevron Pasific sebesar 100 ribu bopd per hari, dan minyak milik Exxon Mobil dari Banyu Urip sebesar 181 ribu bopd. Persoalannya, harga minyak KKKS tak semurah harga minyak di pasaran global. Pada Maret 2020, Pertamina membeli crude di harga USD24 per barel, sementara harga produk sudah di level USD22 per barel. Sudah terjepit aturan, konsumsi domestik juga ikut tertekan dengan covid-19.
 
Dirut Pertamina Nicke Widyawati mengatakan SPBU Pertamina tetap beroperasi, tetapi penjualan anjlok sampai 50 persen karena kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Konsumsi avtur Pertamina turun seiring dengan tidak adanya operasi penerbangan. Di Bandara Soekarno-Hatta, misalnya, konsumsi avtur dalam kondisi normal mencapai 7.000 kiloliter (kl) per hari. Namun, saat ini turun menjadi sekitar 1.400 kl per hari.
 
Menjaga Keseimbangan
 
Covid-19 memang membuat harga minyak global tertekan, tetapi tak serta-merta membuat negara pengimpor minyak seperti Indonesia mendapat manfaat karena konsumsi domestik juga ikut tertekan. Pertamina bukan hanya perusahaan yang bermain di sisi hilir (distribusi BBM) atau membeli minyak, tetapi juga menjadi pemain hulu.
 
Pertamina mengoperasikan lapangan-lapangan migas potensial, seperti Blok Mahakam (Kaltim) dan ONWJ West Java. Di sisi hulu, Pertamina memproduksi minyak sebesar 400 ribu barel per hari di 2020. Penurunan harga tentu memengaruhi sisi bisnis hulu Pertamina.
 
Pertamina harus menjaga keseimbangan bisnisnya sebelum memutuskan sebuah kebijakan, seperti penurunan harga BBM. Beberapa lapangan Pertamina secara faktual biaya produksinya lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga minyak mentah saat ini. Jadi, harga di hulu tidak bisa disesuaikan begitu saja.
 
Persoalan lain ada di tempat penampungan. Jikapun Pertamina ingin memborong jutaan barel minyak dari pasar global, tempat  penampungan minyak tak cukup. Kilang minyak Pertamina hanya menampung sekitar 600 ribu-800 ribu bpod per hari.
 
Selama ini, sisa produksi minyak diolah di kilang Singapura. Sejak 2014, Pertamina sudah mencari mitra bisnis peremajaan kilang untuk menaikkan kapasitas produksi kilang, tetapi belum terealisasi. Peremajaan kilang Cilacap, misalnya, masih terhambat karena mitra Pertamina, Saudi Aramco, belum tertarik dengan proposal bisnis Pertamina dan pemerintah. Pemerintah memang mulai melakukan konstruksi kilang Tuban, Jatim, tetapi belum bisa beroperasi komersial.
 
Mitigasi yang diupayakan untuk mengantisipasi pasokan berlebih dengan memaksimalkan pemanfaatan tangki dan kapal sebagai penyimpanan sementara. Di hilir, jika ingin menurunkan harga BBM, pemerintah perlu menaikkan subsidi BBM agar bisa mengamankan sisi bisnis Pertamina.
 
Kementerian ESDM juga bisa membuat aturan baru dengan alasan pandemi untuk merevisi harga jual minyak KKKS ke Pertamina sesuai dengan pasar global. Bisa juga memberi ruang bagi Pertamina membeli minyak di pasar global pada saat harga turun. Pemerintah wajib memberikan insentif fiskal berupa potongan pajak agar produksi migas KKKS pascapandemi tak terganggu.
 
Ferdy Hasiman
Peneliti pada Alpha Research Database, Indonesia

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan