Pada tulisan ini saya ingin menyoroti secara lebih filosofis dan mendalam terkait pelemahan rupiah ini. Sudah banyak tulisan yang mengulas pelemahan rupiah. Penyebab yang dibahas antara lain kenaikan dan ekspektasi kenaikan fed fund rate (suku bunga acuan Amerika Serikat), kekhawatiran dampak perang dagang AS versus Tiongkok, serta kenaikan harga minyak dunia pascageopolitik yang masih memanas, serta ketidakpastian pasca-Brexit.
Dari sisi pemerintah/otoritas, seringkali faktor eksternal yang lebih ditonjolkan sebagai penyebab. Para ekonom membahas bahwa tidak hanya faktor eksternal, tapi juga faktor internal. Kondisi defisit neraca perdagangan Indonesia karena melemahnya daya saing ekspor, berkurangnya cadangan devisa dalam tiga bulan terakhir, serta pertumbuhan ekonomi yang masih di bawah harapan menjadi faktor internal yang berkontribusi.
Pemberitaan negatif dan terus-menerus terkait permasalahan utang luar negeri bukan tidak mungkin juga berkontribusi terhadap sentimen negatif di pasar. Sentimen negatif tersebut dapat berimbas pada aksi jual saham maupun surat utang RI oleh investor. Hal ini terlihat dari IHSG yang turun atau di zona merah.
Filosofi Nilai Tukar
Melemah ataupun menguatnya nilai tukar ialah suatu fenomena ekonomi yang sangat alamiah di dalam sistem nilai tukar mengambang. Pergerakan nilai tukar mencerminkan dinamika perubahan permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing (valuta asing). Lalu, apa yang masih perlu dikhawatirkan pada episode pelemahan rupiah kali ini? Permasalahannya terkait apakah rupiah dapat kembali pada keseimbangan awal.
Biasanya para pengamat menyatakan bahwa pelemahan ini hanya temporer. Artinya, pelemahan ini hanya sementara dan akan kembali ke keseimbangan semula. Namun, perlu ditekankan bahwa konsep keseimbangan nilai tukar bukan merupakan konsep yang statis dan dapat berubah sesuai kondisi fundamental suatu negara. Konsep keseimbangan nilai tukar dalam teori pun lebih diarahkan untuk nilai tukar riil, bukan nilai tukar nominal. Nilai tukar riil biasanya diukur dengan indikator yang disebut real effective exchange rate (REER).
REER ialah indikator untuk menjelaskan nilai mata uang suatu negara relatif terhadap beberapa mata uang negara-negara lainnya, yang telah disesuaikan dengan tingkat inflasi pada tahun tertentu atau indeks harga konsumen negara tertentu. Kenaikan REER menggambarkan berkurangnya daya saing ekspor.
Berdasarkan data dari CEIC, diketahui REER Indonesia menurun yang berarti meningkatnya daya saing ekspor. Seharusnya pelemahan nilai tukar secara riil dapat menaikkan ekspor, tetapi dalam kenyataan belum sesuai harapan. Permasalahannya ialah pelaku ekonomi belum tentu semua familier dengan konsep nilai tukar riil. Pelaku ekonomi lebih merespons pelemahan nilai tukar secara nominal, termasuk dalam respons harga barang. Harga barang industri manufaktur terutama yang memiliki komponen impor tinggi dikhawatirkan akan naik. Pelemahan rupiah yang berbarengan dengan kenaikan harga minyak dapat menjadi ancaman terhadap inflasi, apalagi jika pelemahan rupiah berlangsung terus-menerus.
Nilai tukar rupiah nominal terkuat pernah mencapai Rp8.555 per USD pada Mei 2011. Dengan nilai tukar terendah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) di level Rp14.404 per USD, terdapat jarak yang lebar antara kurs terkuat dan kurs terlemah dalam rentang waktu tujuh tahun. Depresiasi rupiah secara kumulatif ialah 40,6 persen. Artinya, rupiah telah kehilangan nilainya secara nominal sebesar 40 persen terhadap mata uang dolar dengan asumsi 2011 sebagai basis. Kehilangan nilai ini bisa memengaruhi nilai aset dalam denominasi rupiah. Artinya, setiap orang yang memegang aset dalam rupiah akan mengalami penurunan dalam nilai aset sebesar 40 persen.
Pelemahan nilai tukar juga seringkali dikaitkan dengan peran para spekulan. Pengalaman krisis pada 1997-1998 mengingatkan pada sosok spekulan yang dianggap menyebabkan pelemahan nilai tukar di sejumlah negara Asia Timur. Spekulan ini biasanya memiliki banyak cadangan valas dan memiliki lembaga hedge fund yang besar. Cadangan yang mereka miliki bahkan bisa lebih besar dari cadangan devisa suatu negara terutama negara emerging market. Emerging market seperti Indonesia yang cadangan devisa tidak terlalu besar perlu sangat mewaspadai tindakan spekulasi ini. BI dengan koordinasi yang kuat dengan pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi untuk menghadang serangan para spekulan ini.
Pertama, kebijakan yang ahead the curve, pre-emptive, dan front loading. Respons kenaikan BI 7 days repo yang telah dilakukan beberapa kali merupakan contoh nyata respons kebijakan tersebut, (per 28 Juni 2018, BI rate 7 days naik ke 5,25 persen). Kenaikan BI rate ini dianggap sesuai dengan ekspektasi pasar, bahkan melebihi.
Kedua, BI telah mengeluarkan berbagai aturan untuk memperkuat pengelolaan devisa, yaitu aturan terkait devisa hasil ekspor (DHE). Ketiga, BI juga telah mengeluarkan PBI terkait kewajiban penggunaan rupiah dalam transaksi di domestik. Keempat, BI juga telah mengatur transaksi spot dan transaksi derivatif valas yang standar yang dilakukan bank dengan nasabah di atas jumlah tertentu (threshold), wajib memiliki underlying transaksi. Kelima, BI juga telah memperketat izin operasional kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA). Selama ini, kegiatan spekulasi bukan tidak mungkin dapat dilakukan melalui money changer.
Sampai Kapan
Jika melihat historis sejak 2011, rupiah belum pernah kembali ke angka terendah, yaitu di kisaran Rp8.500-an. Jika diambil tren, tampak bahwa dalam tujuh tahun tren rupiah ialah melemah. Pola ini sangat berbeda dengan sebelumnya, jika dilihat observasi dengan rentang dari 2000. Pada periode sebelumnya, rupiah selalu dapat kembali atau memiliki pergerakan stasioner. Berdasarkan pengamatan penulis, di periode 2000-2001, periode depresiasi terjadi selama 16 bulan, 2000-2003 selama 24 bulan, dan periode 2008-2009 selama 10 bulan.
Sejak 2011 sampai hari ini, periode terjadinya depresiasi sudah terjadi selama tiga fase, yaitu 32 bulan, 17 bulan, dan 16 bulan. Jika dikumulatifkan (karena sedikitnya periode apresiasi dan sangat tipis), periode depresiasi kurang lebih telah terjadi selama 65 bulan sehingga dapat disimpulkan bahwa pada periode pelemahan kali ini cenderung lebih persisten dan lebih lama. Belum ada tanda-tanda rupiah dapat kembali ke keseimbangannya dalam waktu dekat.
Pelemahan rupiah bukanlah yang terburuk karena ada negara-negara lain yang mata uangnya melemah lebih parah dari rupiah. Namun, yang perlu dikhawatirkan ialah persistennya pelemahan rupiah kali ini cukup besar jika dibandingkan dengan sebelumnya. Belum ada tanda kapan rupiah akan kembali menguat, setidaknya ke kisaran Rp12.000-Rp13.000. Angka ini masih jauh dari rata-rata nilai tukar dalam 18 tahun terakhir di kisaran Rp10.000 per USD.
Penguatan kebijakan moneter dengan respons kenaikan BI rate dalam jangka pendek bisa memperkuat nilai tukar rupiah, tetapi cenderung dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, PR untuk memperkuat neraca transaksi berjalan dan perdagangan menjadi krusial. Faktor fundamental daya saing dan produktivitas domestik menjadi sangat penting untuk ditingkatkan. Negara yang pelemahan depresiasinya rendah atau bahkan mampu menguat ialah Malaysia, Singapura, dan Korea.
Mereka ialah negara-negara yang neraca transaksi berjalan cenderung surplus dan memiliki daya saing ekspor yang kuat. Inilah kunci stabilitas nilai tukar mereka. Kebijakan kenaikan BI rate ialah necessary condition, tetapi tidak sufficient. Kunci produktivitas ekspor ialah kunci utama dan membutuhkan bantuan semua pihak selain otoritas moneter dan fiskal. (Opini/Media Indonesia)
Telisa Aulia Falianty
Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News