Sekadar catatan, PP No 1 2017 merupakan perubahan keempat yang dibuat terhadap PP No 23 tahun 2010 yang dikeluarkan tidak lama setelah UU Minerba yang baru dikeluarkan. Di antaranya ada PP No 24 Tahun 2012 dan PP No 77 Tahun 2014. "Ketidakyakinan" (semoga bukan pesanan) mengenai besaran divestasi merupakan salah satu penyebab harus dikeluarkannya 4 Peraturan Pemerintah.
Dimulai dengan 20% di tahun 2010, kemudian 51%, kemudian 30% dengan segala variannya, dan kembali lagi ke 51% di tahun 2017. Jadi, kalau ada tuduhan pemerintah plintat-plintut, alasannya memang ada. Alasan yang kedua adalah ini juga 'dianggap' jadi keinginan orang banyak. Nasionalisme dan melawan imperialisme (baca:asing) adalah topik yang masih laku dijual.
Rasanya kalau dibuat survei, tidak akan banyak orang yang tidak simpati dan memberikan dukungan kalau disodori jargon "Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri” dengan cara menjadi pemilik mayoritas dalam pengusahaan sumber daya mineral. Bisa dipahami karena ini memenuhi ‘rasa keadilan dan naluri berkuasa' dalam diri kita. Walaupun demikian, kita tetap perlu menjaga nalar dan akal sehat.
Nasionalisme dan melawan imperialisme (baca:asing) adalah topik yang masih laku dijual.
Kesimpulannya, tidak melaksanakan atau mengubah lagi aturan soal divestasi akan menjadi keputusan yang tidak populer untuk pemerintah. Walaupun gaungnya mungkin tidak sebesar mencabut subsidi BBM, tentu saja keputusan tidak populer sebisa mungkin akan dihindari, apalagi menjelang pemilu 2019. Menimbang kedua alasan politis ini, sepertinya perusahaan PMA di tambang tidak akan bisa berharap banyak untuk bisa bernegosiasi mengenai besaran divestasi, minimum tidak dalam waktu dekat ini.
Dari sisi teknis pelaksanaan divestasi, pemerintah harus menyiapkan beberapa hal krusial: pertama, kesepakatan untuk metode penilaian aset untuk persentase kepemilikan yang akan dilepas. Pemerintah tidak cukup hanya mengatakan aset yang masih di dalam tanah tidak boleh dihitung. Walaupun benar bahwa kalau kontrak/izin dihentikan, semua aset itu akan kembali kepada negara, tetapi persiapan penambangan ke cadangan masa depan memerlukan biaya besar dan harus dilakukan dari jauh-jauh hari kalau mau produksi terus berlangsung.
Tentu saja, belanja modal ini harus diperhitungkan, kalau tidak risikonya terlalu besar buat perusahaan karena bisa jadi mereka hanya akan kerja bakti dan properti diambil saat aset siap berproduksi. Dibutuhkan kemauan untuk mendengarkan dan menempatkan isu yang dihadapi perusahaan dalam perspektif yang tepat, kecuali kalau memang kita tidak lagi membutuhkan investasi asing sama sekali.
Khusus dalam kasus Freeport, kita perlu mengakui bahwa skala penambangan, dan risiko yang harus mereka kelola jauh melebihi usaha pertambangan apa pun yang ada di level domestik saat ini. Sebagai gambaran, sebuah tambang bawah tanah yang berproduksi 100 ribu ton/hari bisa membutuhkan waktu 7-10 tahun untuk menyiapkan tambang sampai siap produksi dan kemudian butuh 7-10 tahun lagi untuk mencapai kapasitas penuhnya.
Dalam rentang periode ini, belanja modal yang diperlukan bisa berkisar USD3-5 miliar. Ini tidak sesederhana soal profit-sharing di ladang minyak atau menggali batubara dalam tonase yang sama di permukaan. Ini juga erat kaitannya dengan kekhawatiran investor dengan kepastian usaha dalam perubahan KK ke IUPK. Sekali lagi, mekanisme penilaian aset dan harga yang harus dibayar perlu dibahas jauh-jauh hari karena kompleksitasnya.
Kedua adalah kepada siapa hasil divestasi akan diberikan dan darimana dana divestasi akan diambil. Ketiga, bagaimana kesiapan pengambil hasil divestasi untuk berpartisipasi aktif, dan kemudian bergeser mengambil alih peran manajemen dalam menjalankan perusahaan dan mengelola risiko ke depan. (bersambung)
Penulis
Arkadius Sutra Tarigan
(Praktisi Pertambangan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News