Dewan Redaksi Media Group Suryopratomo. (FOTO: MI/Panca Syurkani)
Dewan Redaksi Media Group Suryopratomo. (FOTO: MI/Panca Syurkani)

Dagang Izin

17 Februari 2018 12:11
BERBAGAI kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Para kepala daerah sulit menghindar karena kebanyakan dari mereka terkena OTT (operasi tangkap tangan).
 
Mereka menerima uang kebanyakan karena persetujuan perizinan bisnis yang diberikan kepada pengusaha. Inilah yang disebutkan Presiden Komisaris Jamu Jago, Jaya Suprana, sebagai bisnis perizinan.
 
Kewenangan untuk mengeluarkan izin dijadikan para kepala daerah sebagai komoditas. Siapa yang membutuhkan persetujuan perizinan, mereka harus mengeluarkan uang.

Bagi para pengusaha, kondisi seperti itu sangatlah dilematis. Jika mereka tidak ikut permainan, semua rencana bisnis tidak pernah bisa dieksekusi. Namun, jika ikut permainan, mereka bisa terjebak ke persekongkolan. Bahkan, lebih parah, pengusaha dituduh melakukan penyuapan.
 
Dengan kondisi seperti ini, keinginan kita untuk menarik investasi memang menjadi mustahil. Mengapa arus investasi mengalir lebih deras ke Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, atau Vietnam?
 
Itu disebabkan tingginya ketidakpastian berbisnis di Indonesia. Presiden Joko Widodo boleh memerintahkan para menteri untuk melakukan deregulasi. Namun, persoalan perizinan itu tidak ada di tangan menteri, tetapi di level lebih bawah.
 
Bahkan, istilah yang dipakai Jaya Suprana, negeri ini lebih pantas disebut sebagai Republik Kasubdit. Sebabnya, yang jauh lebih berkuasa dan menentukan ialah kepala subdirektorat di kementerian. Survei yang pernah dilakukan Jaya Suprana, rekor tercepat pengurusan perizinan terjadi di Kalimantan Utara.
 
Semua perizinan usaha bisa diselesaikan dalam waktu 16 menit. Itulah yang membuat Jaya memberikan penghargaan rekor Muri kepada pemerintah provinsi paling muda di Indonesia. Persoalannya, lama pengurusan perizinan itu berbeda di tempat-tempat yang lain.
 
Ada yang bisa menjadi 16 jam, bisa menjadi 16 hari, atau bahkan menjadi 16 bulan. Tantangan kita sekarang, bagaimana mengubah kebiasaan untuk mempersulit menjadi mempermudah?
 
Sejauh mana kepala daerah mau untuk tidak menjadikan perizinan itu sebagai komoditas?
 
Masalahnya, kita bersaing dengan negara lain dalam menarik investasi, dan negara lain benar-benar memberikan kemudahan. Bahkan negeri seperti Tiongkok bukan hanya memberikan kemudahan dalam perizinan, melainkan juga memberikan insentif fiskal.
 


 
Kelompok Sinar Mas yang memiliki hotel di kawasan The Bund, Shanghai, pernah merasakan kemudahan itu saat menghadapi krisis keuangan pada 1997. Ketika melihat proyek pembangunan hotel yang terbengkalai, Wali Kota Shanghai datang untuk menawarkan bantuan.
 
Ketika tahu kesulitan finansial yang dihadapi, pihak pemerintah kota mau mengembalikan dan menunda pembayaran pajak perusahaan. Sinar Mas baru membayarkan kembali pajak terutang ketika kondisi keuangan perusahaan sudah membaik.
 
Persoalan ketiga yang perlu kita segera perbaiki, menurut Chairman Berca Group Murdaya Poo, ialah urusan tenaga kerja. Kita harus mendorong para pekerja lebih rajin dan mau lebih bekerja keras. Kalau produktivitas bisa ditingkatkan, kenaikan upah bukan masalah berarti bagi pengusaha.
 
Masalah yang kita hadapi sekarang ini, tenaga kerja yang tersedia bukan hanya tidak memiliki keterampilan, melainkan juga tidak mau bekerja keras. Para pekerja kita selalu menuntut kenaikan upah, tetapi tidak mau meningkatkan produktivitas mereka.
 
Tidak usah heran apabila produktivitas tenaga kerja kita kalah jika dibandingkan dengan Vietnam.
 
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia Benny Sutrisno menyebutkan, jam kerja di Vietnam itu 48 jam per pekan, sedangkan di Indonesia hanya 40 jam. Kita semakin kecil hati melihat kemampuan anak-anak Indonesia di bawah usia 15 tahun dalam bidang matematika, ilmu pengetahuan, dan membaca.
 
Survei yang dilakukan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pada 2015 menunjukkan, dua dari lima anak Indonesia tidak menguasai ketiga bidang itu. Sementara itu, di Vietnam, hanya lima persen anak dengan kemampuan tertinggal.
 
Inilah yang seharusnya membuka mata kita semua, bahwa harapan untuk menjadi kekuatan ekonomi nomor 4 di dunia pada 2030 tidak akan bisa terjadi kalau kita tidak membenahi sumber manusia bangsa ini.
 
Kita tidak pernah akan mampu memanfaatkan kekayaan sumber daya alam kalau tidak memiliki manusia yang berpengetahuan, rajin, dan mau bekerja keras. Jelas ini bukan pekerjaan mudah karena kita tidak mungkin mengubah manusia dalam semalam.
 
Kita butuh setidaknya 25 tahun untuk memperbaiki generasi. Itu harus dilakukan secara konsisten dan dengan konsep yang benar. Salah satu yang kita perlukan ialah bagaimana mengajak para pemimpin bangsa ini tidak egois.
 
Mereka jangan hanya memikirkan diri sendiri dan untuk kepentingan jangka pendek. Bagaimana kita mau melihat dengan horizon yang lebih jauh dan berwawasan lebih luas. Negeri ini membutuhkan pemimpin yang bisa menjadi teladan. Kita memerlukan pemimpin yang mau berkorban.
 
Tidak perlu dengan materi, tetapi cukup dengan tidak hanya memikirkan keuntungan yang bisa didapat untuk dirinya. Dengan kemauan untuk mempermudah perizinan, membangun etos kerja yang kuat, dan mendorong warga untuk melakukan yang terbaik, bangsa ini akan bisa makmur.
 
Suryopratomo
Dewan Redaksi Media Group

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan