Ilustrasi -- MI/PANCA SYURKANI
Ilustrasi -- MI/PANCA SYURKANI

Kusutnya Sistem Pengupahan Indonesia

Dero Iqbal Mahendra • 02 Desember 2014 15:06
medcom.id, Jakarta: Kenaikan upah buruh setiap tahunnya ternyata tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat dan hanya dinikmati oleh sebagian golongan masyarakat saja. Kenaikan upah tersebut ternyata hanya dinikmati oleh dari golongan pekerja formal.
 
Mantan Ketua umum Apindo, Sofjan Wanandi, mengungkapkan dalam lima tahun upah buruh sudah mengalami kenaikan hingga 115 persen lebih, namun yang nikmati hal tersebut hanya dari golongan capital intensive. Sedangkan buruh di pertanian dan di sektor informal sama sekali tidak merasakan dampaknya. Hal ini disebabkan 80 persen buruh bekerja di bidang informal seperti nelayan dan petani.
 
"Tantangan ke depan sangat berat kendati bisa dilakukan mengingat target kita yang harus memperkerjakan hingga tiga juta orang per tahunnya dengan pertumbuhan hingga tujuh persen pada 2016," ujar Sofjan, belum lama ini.

Dia menekankan bahwa pengusaha harus mau berinvestasi lebih banyak agar dapat mencapai target tersebut. Hal itu disebabkan karena pada dasarnya pengusaha besar yang padat modal berperan untuk pertumbuhan ekonomi dan pengusaha kecil yang padat karya sebagai pemerataan.
 
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri juga mengemukakan buah pikirannya tentang peliknya situasi pengupahan di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan banyaknya distorsi dalam ketenagakerjaan.
 
"Kepentingan terbesar kita adalah mengokohkan industri nasional kita, sehingga dunia usaha kita bisa terus mengembangkan usahanya menjadi lebih baik dan dari serikat pekerja bisa memberikan suportnya dalam peningkatan produktivitas kerja. Jangan sampai peningkatan upah minimum dari tahun ketahun tidak nyambung dengan peningkatan produktivitas," ungkap Hanif.
 
Dirinya mengidentifikasi beberapa persoalan berdasarkan kajian yang dirinya lakukan terkait dengan upah minimum dari pekerja seperti mengenai regulasi upah minimum yang menyebabkan harus naiknya upah minimum setiap tahunnya, namun produktivitas tidak serta merta naik. Selain itu kenaikan upah minimum harus terjadi setiap tahunnya padahal produktifitas tenaga kerja per sektor bervariasi sehingga harus mempertimbangkan sektor yang terlemah. Terlebih lagi kenaikan upah tersebut hanya dapat dinikmati oleh sektor formal tanpa menyentuh sektor informal.
 
Dirinya memandang bahwa kenaikan upah harus ditunjang oleh peningkatan produktifitas dari para pekerja. Sedangkan untuk meningkatkan produktifitas para pekerja harus melakukan peningkatan kompetensi dirinya. Orientasi uatama tentunya adalah keseimbangan dari peningkatan produktivitas dengan peningkatan kesejahteraan pekerja.
 
Berdasarkan permasalahan tersebut, peningkatan upah tidak hanya berdasarkan soal Komponen Hidup Layak (KHL) namun lebih kepada produktivitas dan juga kemampuan sektor padat karya. Terlebih lagi tidak semua komponen KHL itu harus ditanggung oleh pengusaha karena ada bagian dari yang di penuhi oleh pemerintah.
 
"Ke depan saya tidak ingin hanya menjadi pemadam kebakaran dan forum forum bipartit juga jangan diarahkan untuk hanya menjadi pemadam kebakaran saja. Kita harus lebih antisipatif kedepan sehingga gagasan-gagasan yang terkait dengan sistem pengupahan atau gagasan tentang untuk menekan biaya pengeluaran buruh bisa muncul," ujar Hanif.
 
Hanif menyadari selama ini banyak kebijakan yang bersifat pukul rata yang akhirnya menjadi tidak fair kepada pekerja. Terutama untuk industri yang sifatnya padat karya yang diperlakukan sama dengan yang paat modal tanpa ada insentif atau keringanan ini tidak bagus karena pada akhirnya usaha tersebut tidak bisa berkembang dengan baik. Sehingga kedepannya seharusnya ada penyesuaian antara industri yang padat karya dan padat modal.
 
Problem di daerah
 
Ketua Apindo Hariyadi B. Sukamdani mengungkapkan bahwa selama ini peraturan pemerintah sudah cukup jelas untuk mengatur sistem pengupahan, namun terkadang di wilayah pemerintahan daerah menjadi suatu permasalahan. Pemerintah daerah sering kali memiliki persepsi yang berbeda terhadap peraturan yang ada, bahkan sering kali pemerintah daerah cenderung membuat peraturan yang bersifat populis.
 
Pemerintah daerah sering seperti berjalan sendiri berbeda dengan pemerintah pusat dan sangat tidak didukung dengan kebijakan pemerintah pusat. Misalnya seperti di Jawa Timur yang mengasumsikan mengenai komponen KHL itu dalam akomodasi atau perumahan yang dalam peraturan diasumsikan sebagai sewa kamar tetapi di terjemahkan sebagai sewa rumah sehingga terjadi lonjakan nilai KHL-nya.
 
"Lebih parahnya lagi di kepala dinas di Jawa Timur membuat surat keputusan yang menyatakan bahwa KHL adalah safety net sehingga upah minimum itu minimal harus sama dengan KHL," ujar Hariyadi.
 
Terkesan bahwa daerah tidak membutuhkan investasi dan juga memiliki asumsi bahwa pengusaha pasti akan mengikuti apa yang diatur oleh peraturan daerah. Padahal dalam kenyataannya dampaknya terjadi penyusutan luar biasa dalam penyerapan tenaga kerja di daerah. Oleh karenanya kedepannya diharapkan pemerintah pusat dapat mengendalikan hal-hal seperti ini.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan