Lalu apakah nasibnya harus sama dengan kabar viral seorang pensiunan yang harus ikut amnesti pajak dan membayar tebusan puluhan juga? Jika iya, betapa tak adilnya program pemerintah ini. Sontak Mukidi naik pitam dan buru-buru meraih laptop untuk ikut menandatangani petisi online kepada Presiden Jokowi.
Kegalauan Mukidi adalah sesuatu yang wajar. Ia bersama jutaan karyawan yang menjadi wajib pajak selama ini telah menjadi wajib pajak patuh, istilah yang sesungguhnya tak cukup jelas kecuali merasa pajaknya telah dipotong, dibayar, dan SPT dilaporkan tepat waktu.
Namun bukan Mukidi kalau sekadar menyerah pada informasi viral yang berpotensi membalik fakta menjadi fitnah. Ia pun mencari tahu lebih dalam, menguji pemahaman dan mengkonfrontasi informasi itu dengan bunyi Undang-Undang (UU) dan aturan supaya semuanya terang benderang. Mukidi pun terbelalak!
Di penjelasan UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), ia mendapati bahwa sistem perpajakan Indonesia sejak 1984 menganut self assessment system atau sistem swadiri, karena wajib pajak diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutangnya.
Makin kaget Mukidi ketika mendapati bahwa pemerintah justru tugasnya hanya melakukan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan. Jadi benar salahnya penghitungan kewajiban pajak pertama-tama merupakan tanggung jawab kita sendiri, bukan kantor pajak.
Mukidi makin hanyut dalam khasanah pustaka perpajakan, hal yang selama ini dia hindari namun diam-diam mulai ia cintai, bahkan menggantikan Mukiyem – sang tambatan hati.
Apa itu pajak? Pajak adalah kontibusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan imbalan langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Memaksa? Ya, ternyata kalau kewajiban pajak tidak dilaksanakan dengan baik, kita bisa dipaksa untuk membayar –termasuk ditagih paksa melalui sita dan lelang harta. Mukidi kemudian mencari tahu lebih lanjut, siapa itu wajib pajak.
Ternyata wajib pajak meliputi orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan kewajiban sesuai UU karena telah memenuhi syarat subyektif (dilahirkan, bertempat tinggal, berkedudukan di Indonesia) dan syarat objektif (mempunyai penghasilan di atas PTKP atau Rp 4,5 juta/bulan).
UU yang sama menyatakan bahwa setiap wajib pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar (dalam perhitungan dan penerapan aturan), lengkap (memuat semua unsur yang diwajibkan), dan jelas (melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak).
SPT adalah sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak, penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak, harta, dan kewajiban.
Jadi di sini awal mula mengapa kita harus melaporkan harta kita karena harta merupakan akumulasi penghasilan. Bagaimana jika terdapat kekeliruan dalam pengisian SPT? Kita diberi hak melakukan pembetulan atas kemauan sendiri.
Semakin jauh masuk ke kedalaman aturan, Mukidi semakin cemas, namun ia pun mencoba mengerti. Bahkan ia menemukan satu pasal yang menyatakan bahwa setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara akan didenda atau dipidana kurungan. Terlebih yang dengan sengaja melakukan itu, ancamannya tak tanggung-tanggung, pidana penjara dan denda!
Mukidi termenung. Tatapan matanya menerawang, jauh menembus batas-batas langit. Khayalannya liar. Di titik ini ia terjaga, mengapa UU Pajak harus disertai banyak ancaman dan larangan, tak lain agar setiap orang melaksanakan kewajiban. Benar belaka tak ada orang yang senang membayar pajak.
Buat apa merelakan sebagian hasil tetes keringat kita untuk negara, yang mungkin tak jelas penggunaannya? Mukidi kembali maklum. Segala yang ia nikmati berupa fasilitas umum –jalan, jembatan, rumah sakit, bandar udara, pelabuhan, sekolah– hanya bisa ada melalui pajak. Pajak adalah ongkos bagi sebuah peradaban –demikian Mukidi pernah mendengar ucapan seorang cerdik pandai.
Mukidi tak mau berandai-andai lebih jauh. Ia hanya bisa membayangkan, seandainya seluruh isi UU Pajak ditegakkan secara konsisten tanpa pandang bulu, apa yang akan terjadi? Berapa juta orang ternyata menyalahi UU, sengaja maupun tidak sengaja? Lalu apakah kita akan marah, abai, atau malu?
Di bagian akhir, ia menemukan aturan bahwa Dirjen Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Kewenangan yang sebenarnya amat jarang digunakan dan baru menjangkau dua persen dari jumlah wajib pajak.
Benarkah negara zalim? Ataukah saya yang memang abai dan tak sepenuhnya sadar dan patuh? Malam semakin larut. Mukidi gelisah menatap bintang yang meredup ditimpa kabut, seolah lelah menemaninya belajar. Satu pertanyaan menggelayut, ia lupa melaporkan beberapa hartanya, tanpa sengaja.
UU memberinya kesempatan membetulkan SPT, sekaligus menawarinya ikut program amnesti pajak. Mukidi sadar sistem swadiri ini menuntutnya untuk serba paham, tapi juga mendamba pemerintah yang rajin membimbing dan mengajari. Ia memilih menimbang dulu dengan matang, dan barangkali esok bisa berdiskusi seraya melepas kangen dengan Mukiyem –pujaan hati yang sempat telantar gegara amnesti pajak.
Oleh:
Yustinus Prastowo
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News