Diawal masa jabatannya, Jokowi telah melakukan gebrakan di sektor kehutanan dengan melakukan blusukan asap ke lokasi kebakaran lahan gambut dan hutan Riau untuk menemukan solusi konkret terhadap bencana ekologis yang terjadi. Saat itu, Jokowi berkomitmen akan menjaga kelestarian lahan gambut, memperpanjang moratorium hutan, melanjutkan kebijakan satu peta dan akan menindak tegas pelaku perusakan lahan gambut dan hutan.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan San Afri Awang mengatakan, kerusakan hutan disinyalir mendapat dukungan dari oknum penegak hukum. Karenanya Presiden menginstruksikan untuk memberantas semua pelaku kerusakan hutan dan lingkungan tanpa pandang bulu.
Perlindungan masyarakat di dalam dan sekitar hutan juga menjadi perhatian khusus pemerintah pasca blusukan Riau.
"Jika terbukti ada hak masyarakat di dalam kawasan hutan, maka dapat di proses menjadi hak milik melalui penerapan peraturan bersama Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agraria/Kepala BPN tahun 2014," ujarnya.
Dari berbagai pesan positif yang ditekankan pemerintah, perpanjangan moratorium hutan yang diputuskan pemerintah baru memiliki peran yang sangat penting. Pemberhentian pemberian izin-izin usaha kehutanan tersebut merupakan jeda waktu yang sangat diperlukan untuk mengkaji dan merevisi kebijakan-kebijakan pengelolaan kehutanan.
Sementara itu, Deputi Teknologi Sistem dan Monitoring BP REDD+ Nurdiana Darus mengatakan, berdasarkan perkembangan moratorum yang sudah ada dalam empat tahun terakhir, salah satu program yang belum dilakukan secara optimal adalah penyelesaian konflik tenurial. Untuk itu, Nurdiana mengatakan ada beberapa hal yang perlu dilakukan selama perpanjangan moratorium hutan yang baru.
Program-program tersebut adalah mendata dan verifikasi klaim hak atas tanah, resolusi konflik lahan atas hak-hak masyarakat serta review izin-izin yang diberikan dan pendataan wilayah adat.
Sedangkan menurut perwakilan Dewan Kehutanan Nasional, Martua Sirait, sebenarnya sudah ada upaya-upaya pemerintahan sebelumnya dalam penanggulangan kerusakan hutan seperti perizinan usaha kehutanan dan non kehutanan dan penanaman 1 miliar pohon. Namun upaya-upaya ini tidak menjawab permasalahan yang sesungguhnya.
"Bahkan praktek-praktek pemberian izin menjadi penyebab kerusakan. Upaya ini tidak pernah menuntaskan status 30.000 desa di kawasan hutan yang secara nyata dikelola rakyat secara lestari. Bahkan menerbitkan izin-izin yang merusak diatas tanah tanah ini,” ujarnya dalam Diskusi Catatan Akhir Tahun berjudul "Habis Blusukan Asap, Terbitlah Kelestarian Hutan" di Jakarta, seperti dikutip Kamis (11/12/2014).
Moratorium merupakan kesempatan memperbaiki kembali proses pemberian izin-izin kehutanan yang ada dan pengedepanan pengelolaan hutan oleh rakyat yang lebih lestari.
Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau Haris Gunawan mengatakan ekosistem gambut merupakan bagian penting dari ekosistem hutan Indonesia. Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan mencapai 20,6 juta hektar atau 10,8 persen luas daratan Indonesia. Gambut berfungsi sebagai penyimpan karbon (hingga 4.000 ton karbon tiap hektar) yang jika terlepas ke udara akan memicu perubahan iklim ekstrim.
Selain itu lahan gambut juga merupakan penyimpanan air alami yang mencegah banjir dan kekeringan. Lahan gambut juga kaya keanekaragaman hayati dengan nilai konservasi, ekonomi dan ketahanan pangan yang tinggi dan bermanfaat bagi masyarakat. Berbagai tanaman dan satwa liar bisa dijumpai di lahan itu seperti orang utan, harimau, ikan arwana, dan berbagai macam lainnya.
Berbagai kekayaannya merupakan bahan pangan masyarakat lokal seperti tanaman sagu dan berbagai jenis ikan lokal di danau-danau tengah hutan yang tidak kering meskipun kemarau. Masalah kebakaran hutan dan lahan gambut bagi masyarakat Sumatera bencana ekologis yang telah terjadi setiap tahun selama 17 tahun berturut-turut.
"Di Riau pada periode Februari – April 2014 ada 58.000 orang terenggut hak kesehatannya dengan terserang infeksi saluran pernapasan (ISPA). Selain masalah kesehatan, berbagai aktivitas sosial masyarakat dan pelayanan publik penting menjadi terhambat. Di bidang pendidikan, akibat bencana kabut asap, ribuan hak anak-anak memperoleh pendidikan terampas akibat sekolah-sekolah harus ditutup selama bencana," ungkapnya.
Pemerintah, lanjutnya, seharusnya melanjutkan kerja nyata pasca blusukan asap Presiden dengan memperluas upaya pembasahan gambut yang terlanjut rusak dan kering, menanam dengan jenis-jenis pohon asli campuran, menyelamatkan tegakan-tegakan alami hutan dan pohon sagu dari kekeringan dan kebakaran dan melindungi gambut agar tetap basah di kawasan-kawasan lindung dan konservasi. Kedepan, upaya ini menjadi sangat menjanjikan lokasi-lokasi ini jadi tempat tujuan pengunjung dengan minat khusus atau yang dikenal dengan ekowisata.
"Moratorium hutan diperlukan dalam perlindungan hutan termasuk lahan gambut. Dengan adanya jeda pemanfaatan hutan untuk industri-industri besar, pemerintah dan masyarakat bisa kembali memulihkan lahan-lahan gambut dengan berbagai teknik seperti pembangunan sekat kanal-kanal, pembasahan kembali (rewetting), penanaman sagu dan tanaman-tanaman asli lahan gambut dan teknik-teknik lainnya, termasuk rekayasa sosial masyarakatnya," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News