Bukan hanya rupiah, sejumlah negara emerging market juga mengalami pelemahan Jumat pagi. Sentimen naiknya suku bunga AS The Federal Reserve (The Fed) diprediksi menjadi penyebab melemahnya rupiah. Donald J Trump sebagai Presiden terpilih AS, dalam kampanyenya terus mendengungkan akan menaikkan pertumbuhan ekonomi AS hingga empat persen, salah satunya dengan menaikkan suku bunga The Fed.
Market masih percaya Trump bisa menaikkan ekonomi Amerika. Hal ini membuat sentimen positif terhadap pasar Amerika. Termasuk janji mengurangi belanja infrastruktur cukup tinggi. Trump mengatakan USD167 miliar. Sementara Clinton sebesar USD250 miliar. Begitu pun terhadap rencana Trump akan fokus untuk meningkatkan lapangan pekerjaan. Hal ini membuat sentimen positif terhadap pasar Amerika.
Problem fundamental ekonomi
Secara fundamental ekonomi kita memang kepayahan. Basis pergerakan nilai tukar banyak digerus oleh impor dan bayar utang. Dengan rezim devisa bebas, keluar masuk uang juga turut menggoyang nilai tukar rupiah.
Spekulan sangat suka dengan kondisi ini. Wajar saja kalau pergerakan Rupiah sulit bisa diprediksi menggunakan instrumen keuangan yang lazim dipakai. Motif spekulasi memang tak perlu kelaziman. Tujuannya jelas, ambil keuntungan dalam arti yang luas. Mulai dari keuntungan selisih pembelian dan penjualan sampai motif menjatuhkan pemerintahan.
Bank Indonesia (BI) tidak bisa berbuat banyak. Apapun yang BI lakukan akan berdampak pada keuntungan spekulan dan kontraksi perekonomian nasional. Bahkan upaya melepas USD ke pasar, akan menggerus cadangan devisa dan mengganggu kebutuhan untuk impor dan bayar utang.
Instrumen suku bunga akan berdampak naiknya beban keuangan negara untuk bayar bunga utang. Kemudian berpengaruh pada suku bunga pinjaman. Ini akan menyulitkan perekonomian nasional. Kegagalan mengelola stabilitas nilai tukar ini adalah buah dari kebijakan liberalisasi sektor keuangan. Kondisinya makin memburuk ditengah liberalisasi ekonomi, yang menggantungkan perekonomian pada investor asing.
Tambahan lagi, Gubernur Bank Sentral membiarkan situasi ini berlarut dan semakin memburuk. Kondisi ini menunjukkan lemahnya komitmen untuk memperkuat stabilitas nilai tukar mata uang Rupiah. Terbukti tidak ada terobosan kebijakan yang fundamental dari Gubernur BI Agus Martowardojo. Akibatnya, seluruh kondisi itu menghilangkan kemampuan otoritas kebijakan untuk melakukan pengendalian dan mewujudkan stabilitas.
Kusfiardi
Analis Ekonomi Politik Direktur Kajian Ekonomi dan Bisnis Pusat Studi Politik
Mantan Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News